“Ehem… ehem… ya, saya hanya cari barang bekas. Syukur-syukur ada.”
“Kalau tidak ada, bagaimana Bapak?”
Bapak itu mendeham.
“Ya, kami puasa.”
Si pemuda terdiam sejenak.
“Bapak tinggal di mana?”
Bapak itu tak menjawab, melainkan hanya mengalihkan pandang ke arah dalam gerobak. Anak perempuannya masih tidur. Tabir menangkap itulah tempat tidur mereka berdua. Betapa kasihan, ternyata masih ada yang tak punya tempat tinggal.
Tabir menatap langit-langit rumahnya. Lampu hias besar dan megah tergantung di tengah ruangan. Ubin marmer berwarna ungu tampak mengkilat. AC pendingin ruangan terasa begitu sejuk, tak butuh waktu lama untuk menyegarkannya kembali dari kepenatan bekerja. Kasihan sekali bapak dan anak itu harus berpanas-panasan di jalanan.
“Ayo teman-teman, bagi kamu yang ingin membantu bapak ini, silakan transfer ke rekening yang ada di bawah. Bantuanmu sangat berharga bagi mereka, berapapun jumlahnya. Jangan lewatkan kesempatan baik ini,” pemuda itu menutup wawancaranya dengan berbicara di depan layar seolah-olah sedang berbicara dengan Tabir yang tak kuasa membendung tangis di matanya.
Potongan pizza di meja masih komplet. Masih ada tujuh potong dari selingkar pizza ber-topping daging ayam dan jamur. Satu dua semut tampak menghampiri dan menyelusup lewat sudut kotak pizza. Tabir urung lagi mengambilnya dan terus membiarkan pizza itu tergeletak begitu saja. Dia lebih dikuasai oleh perasaannya, untuk lebih dan lebih lagi berbuat baik lewat tontonan video di media sosialnya.
Sekali Tabir memberi like pada video pengunggah simpati itu, maka algoritma media sosial bekerja dengan cepat. Algoritma akan mendeteksi apa yang disukai pengguna media sosial, dan bak narkoba, media sosial akan menampilkan video-video sejenis itu berulang-ulang. Rasa ketagihan pun muncul. Hati Tabir semakin besar lantaran ia bersyukur masih beroleh kesempatan untuk berbuat baik.