Kau sudah meninggalkanku. Kau membiarkan aku begitu saja terdiam termangu dalam lebatnya hujan malam itu. Tak ada satupun isyarat kau tak akan datang, sampai akhirnya aku tertidur pulas di bangku taman itu. Paginya, aku masih ingat, ada dua ribu tergeletak di depan mataku.
Aku tak mengerti, betapa kau berani menaruh undanganmu pagi itu. Ketika kutanya siapa yang mengantar, jawabannya nihil. Temanku yang bergadang sampai dini hari lantaran lembur kerja tak melihat.Â
Office boy yang biasanya rajin membersihkan mejaku pun malah kaget menyaksikan secarik kertas berbungkus plastik itu. Maklumlah, sebagai office boy profesional, ia harus memastikan tak boleh setitik debu menodai kekinclongan meja yang sudah dilapnya dengan begitu bersih.
Ya, undanganmu telak mencuri perhatianku selepas aku membuka pintu. Aku memang tahu benar posisi setiap benda-benda yang tertata di mejaku. Kursi bergeser satu milimeter saja, aku sudah menduga ada yang mendudukinya tanpa izin. Undanganmu yang berwarna hijau dongker layaknya seragam tentara langsung tampak kontras dengan permukaan meja kacaku yang bening.
Kau tahu, apa yang terjadi semenit setelah aku membuka pintu?
"Cie...ciee... yang diundang mantan."
"Datang gak kamu? Sudah diundang masak gak datang," seorang perempuan jauh lebih tua dariku di sudut ruangan terkekeh. Puas sekali kekehnya, macam tak sekadar terkekeh, tapi lebih ke menghina. Barangkali jika tak datang, aku dianggapnya kurang jantan.Â
"Mental cemen mana berani datang?"
"Deket lho itu dari sini, masak kamu gak bisa datang?"
Kau mempermalukanku benar. Wajahku memerah. Pagi itu, saat mood yang sudah kukumpulkan untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan akhir bulan sudah kubawa dengan baik dari rumah, malah kau renggut seenakmu dari atas meja.
Kan bisa kau sampaikan secara pribadi lewat OB waktu teman-teman kantor sudah pulang? Atau, kirimkan saja ke apartemenku pakai Gosend. Kalau kau tak mau bertemu langsung denganku, janganlah mempermalukan aku seperti itu.
Ah, kurasa sebetulnya kau masih menyimpan perasaan padaku. Nyatanya, masih kau harap aku datang di pernikahanmu. Atau, ini hanya basa-basi saja lantaran kita kerja satu gedung? Merasa tidak enakkah kau kalau tak mengundang teman? Malukah dirimu mendapat celaan "masak teman sekantor gak diundang?".
Aku menepuk dada. Aku menyandarkan punggungku ke bantalan kursi. Kuperhatikan lagi undangan sialanmu itu. Tertera nama lengkapku. Komplet juga dengan titel gelar magisterku.
Ternyata kau tidak hanya masih menyimpan perasaanmu. Kau masih juga menaruh hormat padaku. Ah! Perempuan memang sulit sekali dibaca hatinya.
Padahal dulu, kuingat dengan jelas, aku bagaikan gelandangan menunggu di taman itu. Benar-benar macam pengemis, yang kali-kali saja jika kuteruskan menunggu sampai siang, tidak hanya dua ribu yang kuterima.
Gara-gara cinta memang, aku tak berdaya. Tak ingin rasanya kulakukan apa-apa. Sepi malam dan dinginnya angin tak sanggup menghibur hatiku. Aku menunggu, mematung, mungkin sebentar lagi gila, menanti cinta yang ternyata absurd kukira.
Ya, kalau saja aku tak memutuskan untuk ambil cuti lantas pergi keluar negeri, mungkin jiwaku tak terselamatkan setelah kudengar dari temanmu, kau main serong malam itu. Seluruh chat WA bohong semata. Skenario manis kau lakukan layaknya pemain drama yang sudah kenamaan.
Aku tak curiga sama sekali. Apakah karena aku terlalu baik? Aku memang sering terlalu baik, sampai-sampai tak tega membiarkan undanganmu tergeletak begitu saja.
Aku mengucapkan terima kasih, dan sebagai orang yang baik, tentunya yang diundang sebaiknya datang ke pihak yang mengundang. Kutepuk lagi dadaku dan kubiarkan dadaku mengembang. Aku harus membesar-besarkan hatiku.
Tapi tampaknya, pada hari pernikahanmu, kurasa tak adil jika aku tak sedikitpun membalasmu. Ketika teman-teman membeli kado dan di antara mereka berlomba-lomba menunjukkan hadiah siapa yang paling termahal agar tampak terlihat mampu dan semoga paling meninggalkan kesan pada pihak mempelai, aku menghabiskan waktu untuk berpikir, kado apa yang layak diberikan kepada seorang peselingkuh. Kado apa?
Selimut? Si Paimin sudah beli. Perabotan rumah tangga? Itu hadiah dari Surti. Voucher menginap di hotel? Tarjo sediakan dua malam. Berlibur ke luar negeri? Ah, kemungkinan orangtuamu sudah memberikan.
Bagaimana kalau kukasih amplop saja? Lantaran juga aku tak sempat membeli apapun. Pekerjaan semakin menumpuk mendekati deadline. Ya, supaya kesalku terbalaskan, amplop kosong mungkin bisa jadi alternatif.
Siapa yang mau mengecek isi amplop? Barangkali setelah tanda tangan di buku tamu, penerima tamu di acaramu tak akan bisa melihat amplopku. Aku memang sengaja melipat-lipatnya sampai tipis dan dengan secepat kilat kumasukkan ke kantong sumbangan. Agar tak terlalu tampak jahat, tentulah tak kuberi nama amplop itu. Kau pasti tak akan tahu, dari sekian banyak amplop undanganmu, ada amplop kosong dariku. Hahaha...
Masih ada lagi soal tiang obor api kecil yang berdiri di kedua sisi pelaminanmu. Kau memang suka alam, sampai-sampai semua serba hijau. Dekorasi juntaian sulur-sulur dedaunan dan pohon perdu-perduan yang seperti asli ada di sana-sini.
Kolam dengan gemericik airnya yang memancur. Semerbak wangi jejeran bunga Mawar yang tertancap pada sisi depan panggung pelaminan. Rerumputan hijau yang begitu rapi ujungnya layaknya barusan dipotong. Suara bambu tertetesi air.
Kali-kali saja ketika aku hendak naik ke pelaminanmu, bisa saja kuselipkan kaki kiriku sedikit ke kaki kanan, lantas aku terjatuh dan seperti refleks kebanyakan orang, aku akan memegang tiang itu.
Tentu, obor api itu akan ikut jatuh. Kain dekorasi pada lantai pelaminanmu pasti terbakar. Api menyambar-nyambar. Belum lagi ujung gaun hijau pengantinmu yang panjang dan tersibak mekar itu. Tak sampai aku sempat menyalakan rokok, gaunmu tentunya sudah hangus.
Cukupkah itu sebagai pembalasanku? Kurasa belum, tapi lantaran antrean undangan sudah membeludak, aku harus cepat-cepat menyelesaikan langkah. Pekerjaan masih menumpuk di kantor.
Aku berdiri di belakang orang-orang. Penerima tamumu cantik sekali. Lebih cantik dari dirimu. Bolehkah aku berkenalan dengannya selepas ini semua?
Setelah menaruh amplop ke kantong sumbangan, aku bergegas menuju pelaminan. Kulihat obor api itu menyala-nyala. Suasana pesta kebunmu sore itu begitu syahdu.
Banyak kali kenalanmu, sampai-sampai untuk bersalaman saja, aku harus mengantre panjang. Orang-orang berdesak-desakan bagaikan kau orang penting saja. Atau mungkin, mereka semua kenalan orangtuamu yang tajir itu? Kerabat ibu mertuamu?Â
Lantaran mendadak teringat ibu seusai memarkir mobil, beruntunglah kau, akhirnya aku urung melakukan semua pikiran jahatku. Kata ibu, tak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan. Amplop itu kuisi dengan dua lembar uang kertas merah. Obor pestamu kubiarkan begitu saja.
Aku memang tak tegaan. Lagian kau waktu itu tampak bahagia kulihat dari kejauhan. Ketika kita bersalaman, kau menyunggingkan senyum lepas, seolah-olah tak ada yang pernah terjadi. Betapa bahagia dirimu.Â
Sebahagia suamimu tentunya, waktu malamnya seusai semua itu selesai. Kau memang hebat urusan adegan ranjang. Kebahagiaan suamimu itu yang pernah kurasakan dulu setidaknya sedikit menghibur hatiku. Ya, aku tidak rugi-rugi amat.
...
Jakarta,
6 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H