Bagaimana kalau kukasih amplop saja? Lantaran juga aku tak sempat membeli apapun. Pekerjaan semakin menumpuk mendekati deadline. Ya, supaya kesalku terbalaskan, amplop kosong mungkin bisa jadi alternatif.
Siapa yang mau mengecek isi amplop? Barangkali setelah tanda tangan di buku tamu, penerima tamu di acaramu tak akan bisa melihat amplopku. Aku memang sengaja melipat-lipatnya sampai tipis dan dengan secepat kilat kumasukkan ke kantong sumbangan. Agar tak terlalu tampak jahat, tentulah tak kuberi nama amplop itu. Kau pasti tak akan tahu, dari sekian banyak amplop undanganmu, ada amplop kosong dariku. Hahaha...
Masih ada lagi soal tiang obor api kecil yang berdiri di kedua sisi pelaminanmu. Kau memang suka alam, sampai-sampai semua serba hijau. Dekorasi juntaian sulur-sulur dedaunan dan pohon perdu-perduan yang seperti asli ada di sana-sini.
Kolam dengan gemericik airnya yang memancur. Semerbak wangi jejeran bunga Mawar yang tertancap pada sisi depan panggung pelaminan. Rerumputan hijau yang begitu rapi ujungnya layaknya barusan dipotong. Suara bambu tertetesi air.
Kali-kali saja ketika aku hendak naik ke pelaminanmu, bisa saja kuselipkan kaki kiriku sedikit ke kaki kanan, lantas aku terjatuh dan seperti refleks kebanyakan orang, aku akan memegang tiang itu.
Tentu, obor api itu akan ikut jatuh. Kain dekorasi pada lantai pelaminanmu pasti terbakar. Api menyambar-nyambar. Belum lagi ujung gaun hijau pengantinmu yang panjang dan tersibak mekar itu. Tak sampai aku sempat menyalakan rokok, gaunmu tentunya sudah hangus.
Cukupkah itu sebagai pembalasanku? Kurasa belum, tapi lantaran antrean undangan sudah membeludak, aku harus cepat-cepat menyelesaikan langkah. Pekerjaan masih menumpuk di kantor.
Aku berdiri di belakang orang-orang. Penerima tamumu cantik sekali. Lebih cantik dari dirimu. Bolehkah aku berkenalan dengannya selepas ini semua?
Setelah menaruh amplop ke kantong sumbangan, aku bergegas menuju pelaminan. Kulihat obor api itu menyala-nyala. Suasana pesta kebunmu sore itu begitu syahdu.
Banyak kali kenalanmu, sampai-sampai untuk bersalaman saja, aku harus mengantre panjang. Orang-orang berdesak-desakan bagaikan kau orang penting saja. Atau mungkin, mereka semua kenalan orangtuamu yang tajir itu? Kerabat ibu mertuamu?Â
Lantaran mendadak teringat ibu seusai memarkir mobil, beruntunglah kau, akhirnya aku urung melakukan semua pikiran jahatku. Kata ibu, tak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan. Amplop itu kuisi dengan dua lembar uang kertas merah. Obor pestamu kubiarkan begitu saja.