Kan bisa kau sampaikan secara pribadi lewat OB waktu teman-teman kantor sudah pulang? Atau, kirimkan saja ke apartemenku pakai Gosend. Kalau kau tak mau bertemu langsung denganku, janganlah mempermalukan aku seperti itu.
Ah, kurasa sebetulnya kau masih menyimpan perasaan padaku. Nyatanya, masih kau harap aku datang di pernikahanmu. Atau, ini hanya basa-basi saja lantaran kita kerja satu gedung? Merasa tidak enakkah kau kalau tak mengundang teman? Malukah dirimu mendapat celaan "masak teman sekantor gak diundang?".
Aku menepuk dada. Aku menyandarkan punggungku ke bantalan kursi. Kuperhatikan lagi undangan sialanmu itu. Tertera nama lengkapku. Komplet juga dengan titel gelar magisterku.
Ternyata kau tidak hanya masih menyimpan perasaanmu. Kau masih juga menaruh hormat padaku. Ah! Perempuan memang sulit sekali dibaca hatinya.
Padahal dulu, kuingat dengan jelas, aku bagaikan gelandangan menunggu di taman itu. Benar-benar macam pengemis, yang kali-kali saja jika kuteruskan menunggu sampai siang, tidak hanya dua ribu yang kuterima.
Gara-gara cinta memang, aku tak berdaya. Tak ingin rasanya kulakukan apa-apa. Sepi malam dan dinginnya angin tak sanggup menghibur hatiku. Aku menunggu, mematung, mungkin sebentar lagi gila, menanti cinta yang ternyata absurd kukira.
Ya, kalau saja aku tak memutuskan untuk ambil cuti lantas pergi keluar negeri, mungkin jiwaku tak terselamatkan setelah kudengar dari temanmu, kau main serong malam itu. Seluruh chat WA bohong semata. Skenario manis kau lakukan layaknya pemain drama yang sudah kenamaan.
Aku tak curiga sama sekali. Apakah karena aku terlalu baik? Aku memang sering terlalu baik, sampai-sampai tak tega membiarkan undanganmu tergeletak begitu saja.
Aku mengucapkan terima kasih, dan sebagai orang yang baik, tentunya yang diundang sebaiknya datang ke pihak yang mengundang. Kutepuk lagi dadaku dan kubiarkan dadaku mengembang. Aku harus membesar-besarkan hatiku.
Tapi tampaknya, pada hari pernikahanmu, kurasa tak adil jika aku tak sedikitpun membalasmu. Ketika teman-teman membeli kado dan di antara mereka berlomba-lomba menunjukkan hadiah siapa yang paling termahal agar tampak terlihat mampu dan semoga paling meninggalkan kesan pada pihak mempelai, aku menghabiskan waktu untuk berpikir, kado apa yang layak diberikan kepada seorang peselingkuh. Kado apa?
Selimut? Si Paimin sudah beli. Perabotan rumah tangga? Itu hadiah dari Surti. Voucher menginap di hotel? Tarjo sediakan dua malam. Berlibur ke luar negeri? Ah, kemungkinan orangtuamu sudah memberikan.