Sebetulnya saya sudah berjanji tidak akan beropini, namun lantaran pikiran begitu terpikat pada Cerpen "Humor Tentang Tembakan-Tembakan", saya akan menganalisis cerpen (sekaligus belajar cara menulis cerpen) dan seperti peribahasa "sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui", kali-kali saja hasilnya dapat dipertimbangkan untuk percepatan penyusunan UU PRT.
Tulisan ini saya awali dengan kutipan dari artikel Bagong Suyanto -- Dekan dan Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga -- berjudul "Pelindungan PRT, Siapa Peduli?".
Menurut data yang ada, jenis kekerasan yang dialami PRT sebagian besar (41 persen) adalah tindak kekerasan psikis, yakni berupa tindak pelecehan, perendahan, isolasi atau penyekapan, dan pencemaran nama baik.Â
Sebanyak 37 persen PRT lainnya mengalami kekerasan ekonomi, seperti tidak diberi upah yang layak, menjadi korban PHK karena sakit, dan tidak jarang pula PRT yang tidak mendapatkan THR karena tindakan sepihak majikannya.
Sisanya 22 persen PRT bahkan dilaporkan mengalami multi-kekerasan berupa kekerasan seksual hingga pencederaan fisik yang parah.
Dalam kutipan tersebut, kekerasan pada PRT banyak jenisnya dan sehubungan dengan pembahasan cerpen, saya akan membatasi soal pelecehan dan kekerasan seksual.
Sebagian besar tentu menyaksikan bahwa ada kecenderungan pekerjaan PRT diemban oleh kaum perempuan. Ada yang sistem pocokan (istilah di daerah saya)Â yang berarti bekerja sehari saja di rumah tuan lantas pulang ke rumah. Ada pula PRT yang sekalian tinggal bersama tuan rumah. Kita pun tahu, kepala keluarga dalam rumah pastilah laki-laki, yang secara normal punya daya tarik seksual kepada perempuan.
Siapakah gerangan dari kita yang bisa memastikan lelaki sebagai kepala rumah tangga bisa setiap saat mengendalikan nafsunya jika birahinya sedang memuncak? Kali-kali saja diselesaikan bersama istri, sudahlah bebas.
Namun, jika kepada PRT, itulah yang tidak dikehendaki. PRT bisa saja mengalami pelecehan dan kekerasan seksual lantaran tidak mau -- dan pasti tidak boleh berdasarkan pemahaman agama -- melayaninya.
Kekerasan seksual berupa perkosaan terhadap perempuan sangat digambarkan jelas dalam cerpen "Humor tentang Tembakan-Tembakan" karya Surya Gemilang. Di sana, terulang tiga kali bagian cerita soal perkosaan. Jika ada yang diulang, itu pastilah penting. Kalau tidak, cerpen akan membosankan.
Bagian 1: "Pajenong sedang memakai deodoran di depan cermin, sambil mendengarkan pembawa berita di TV berbicara tentang terus bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan.."
Bagian 2: "..menumpang sebuah taksi---yang radionya menyiarkan berita tentang terus bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan---dan tiba di tujuan pada pukul tujuh malam."
Bagian 3: "Sembari menunggu makanan pesanan tiba, ia mengeluarkan ponselnya, mengakses situs berita terpercaya, dan membaca berita tentang terus bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan."
Secara garis besar, cerpen mengisahkan seorang perempuan (Vianna) menolak pernyataan cinta dari sahabatnya (Sarimin), lantas melarikan diri dan bertemu temannya (Pajenong) dalam mobil. Nahas, Pajenong malah memerkosanya dan dengan bangga menceritakan itu kepada Sarimin.
Tak ada yang bisa jamin (dalam fiksi cerpen pun sebetulnya kenyataan hidup) Pajenong sebagai laki-laki bisa mengekang selalu nafsu birahinya dan menyalurkan pada jalur yang sah (menikah dulu).
Kasus perkosaanlah terjadi. Disebut tiga kali dalam cerpen, agaknya Surya Gemilang benar-benar ingin menekankan bahwa kasus perkosaan itu banyak, tidak sedikit.
Sarimin membalas perbuatan Pajenong dengan membunuhnya. Di akhir cerpen, Pajenong -- yang sudah ditembak enam kali sampai kepalanya hancur betul -- bertemu Vianna di sebuah kafe.
Tampaknya tidak logis jika Pajenong yang pastilah mati masih bisa bertemu dengan Vianna. Tentu, saya sebagai seorang cerpenis akan menganggap bahwa hantu Pajenonglah yang datang.Â
Namun, jika dibaca tersirat, bisa jadi Surya Gemilang ingin mengisyaratkan bahwa meskipun tindak perkosaan sudah dijerat dan dihukum, masih ada saja tindakan perkosaan bahkan semakin bertambah. Kenyataan, bukan?
Bagaimana dengan potensi tindakan perkosaan pada PRT perempuan? Bukankah Pajenong pun laki-laki sebagai kepala keluarga punya potensi nafsu birahi yang sama?
Jika tidak ada amatan istri, apakah selalu bisa tindakan perkosaan dicegah padahal nafsu sudah memuncak? Apalagi mereka berdua tinggal serumah dan hanya berdua.
Apa tindakan tepat untuk mencegahnya? Meminimalisirnya? Semoga saja bisa menghilangkannya?
Di sinilah UU PRT diperlukan. PRT butuh kepastian perlindungan sehingga tenang saat bekerja. Tuan rumah juga tidak boleh seenaknya memperlakukan PRT, apalagi memperkosanya. Kita pun berharap, angka-angka kekerasan yang dipaparkan di atas tidak bertambah.
Pada sisi lain, bagian tengah cerpen menceritakan bahwa Vianna sebetulnya punya keinginan untuk membalas tindakan Pajenong.
...Harusnya Vianna menembak Pajenong ketika mereka berjumpa di Kafe X pukul sembilan malam nanti, tanpa peduli akan diapakan dirinya oleh orang-orang di sekitar...
Nah! Apakah kita ingin melihat PRT membalas tindakan perkosaan tuan rumah dengan cara yang sama brutalnya? Tentu, ada hati yang begitu terluka pada perempuan korban perkosaan.
Tak ada yang bisa jamin bagaimana cara pembalasannya. Jangan-jangan, malah lebih parah dibanding tindak perkosaan. Bisa-bisa nyawa melayang. Semakin banyak tindak kejahatan yang terjadi.
Semua itu kemungkinan tidak akan ada jika tindak perkosaan (awal mula masalah) tidak terjadi. Jika sudah ada aturan jelas tentang perlindungan PRT, bagaimana seharusnya PRT bekerja dan bagaimana tuan rumah seharusnya memperlakukannya. Lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan?
Ya, semoga, RUU PRT cepat selesai dibahas.
...
Jakarta,
6 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H