Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kue Keranjang

21 Januari 2023   09:29 Diperbarui: 23 Januari 2023   00:05 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kue keranjang dan angpau, sumber: Shutterstock.com/HomeStudio 

Bila saja bapak tak meninggalkan ibu Selasa pagi, bila saja rumahnya tak kebanjiran lagi dan lagi, bila saja ibu tak ambil banyak utang dari tengkulak padi, Tini tak akan jadi seperti sekarang ini.

Sungguhlah banyak cerita ingin dilupakan, tapi tak semua ingatan mampu mengabaikan. Yang indah pastilah minta dikenang, yang buruk sangat relalah dibuang. Sayang, Tini tak kuasa melakukan.

Remaja perempuan yang bernama Tini itu baru saja membuka mata. Angin bertiup menembus celah jendela. Matahari sudah tampak garang. Ujung seprei tersibak di sudut kasur. Bantal cokelat bersarung lapuk tertumpuk jatuh bersama guling. Buku-buku dengan halaman terbuka terserak di meja. Lantai berdebu. Ubin putih tampak kecokelatan. Tercium bau apek.

Belum lama Tini mengucek mata, terdengar derit pintu. Tini menyeret langkah, pergi ke ruang tengah. Ia terperangah. Ibu tak tampak. Tini segera mengalihkan pandang ke kamar depan. Pintunya sedikit terbuka. Tini beranjak dan menemukan Ibu di sana.

"Kukira Ibu kenapa-kenapa," kata Tini.

Seperti yang sudah-sudah, Ibu selalu bangun jauh lebih pagi darinya. Senyum hangat Ibu tersedia di atas meja makan. Sepotong roti dan segelas teh panas pasti siap terhidangkan.

Wanita beruban putih yang disapa ibu itu diam saja. Ia lekas memeluk erat Tini setelah melihat mata Tini membasah. "Harusnya Ibu yang bilang, kamu yang kenapa. Kok tiba-tiba pulang?" tanyanya lembut. Memang, baru semalam Tini sampai rumah. Tanpa Tini jawab, naluri Ibu tahu, anaknya sedang tak baik-baik saja. Tentu pada saat itu, Ibu akan berusaha sok kuat. Bilamana seorang jatuh, tambahlah sial jika tak ada yang mengangkat. Begitu pikir Ibu.

Tini masih tak bersuara. Terdengar isak perlahan. Tini menyandarkan wajah di dada Ibu. Daster bagian depan Ibu lembap.

"Ngomong, Tini. Ibu gak tahu masalahmu kalau gini terus."

Tini malah makin terisak. Kali ini tangisnya pecah.

Mata Tini masih menyimpan tangis lantaran lelaki di depannya belum selesai menaikkan alis. Sorot mata lelaki itu nyalang. Nada suaranya menyentak.

"Kamu jangan suka-suka kamu di sini."

"Kalau mau kerja, ikut aturan!"

"Ini bukan toko moyangmu!!!"

Sedari tadi sampai sekarang, Tini masih tak bersuara. Kepalanya tertunduk. Ia terduduk. Ia menyaksikan kedua tangannya mengepal di atas paha. Ada bunyi embusan napas dihempas.

"Waktu itu cuan, Tin. Cuan, cuan, cuan. Ingat!" lanjut lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu. Matanya sipit.

"Kamu tahu, kita rugi berapa karena kamu terlambat? Ha!?"

Semakin keras terdengar sentakan. Lelaki itu berkacak pinggang.

Pagi barusan, tampak memang Tini paling akhir masuk kantor. Ketika gerbang hendak ditutup satpam, Tini baru datang, itu pun sudah lari tergopoh-gopoh.

Hari pertama bekerja, betapa sial, banyak aturan, gumam Tini. Pagi hari pukul tujuh, semua karyawan harus sudah sampai kantor. Istirahat siang hanya setengah jam. Jam satu siang, semua wajib kembali kerja. Tak ada keluar kantor seenaknya. Pukul lima, setelah semua kerjaan selesai, pekerja baru boleh pulang.

"Lain kali jangan diulang!" kata lelaki itu lewat pesan WA ke ponsel Tini, lagi dan lagi, sesaat setelah ia melihat meja kerja Tini kosong pukul satu lebih satu menit siang itu.

Untuk hak cuti, pekerja hanya dapat sekali sebulan. Boleh diambil boleh tidak. Kalau diambil, maka pekerja tak dapat uang makan. Kalau diganti dengan masuk kerja, pekerja dapat upah seperti biasa dan tentu tidak terpotong uang makan. Yang paling penting, kantor tak boleh kosong.

"Jangan gitu kalau mau ambil cuti!"

"Kalau kamu gak masuk, siapa yang kerjain ini semua? Ha!?"

"Kamu harus cari pengganti!"

Beberapa hari awal sungguhlah masa-masa yang berat. Tini kecil yang biasa dimanja harus menerima perlakuan keras. Dulu, waktu bapaknya masih ada, Tini tak kurang satu apapun ketika minta dibelikan apa-apa. Semua tersedia, segala tinggal tunjuk, sampai kepada entah kenapa bapaknya pergi meninggalkan ibunya. Tini masih tak percaya dengan kata-kata orang bahwa ada wanita simpanan di hati bapaknya.

Sama pun seperti Tini, begitu ibunya. Menyandang status istri seorang kaya di kampung, ibunya merasa serba ada. Ia belanja pakaian, beli perhiasan, renovasi rumah, dan terus menghabiskan uang. Hartanya menumpuk di sudut-sudut rumah. Entah sial kenapa bisa beruntun, rumah mereka yang termasuk dataran rendah terendam banjir bandang. Semua harta terseret, hanyut dalam derasnya arus.

Hilang, bersama bapak Tini yang pergi entah ke mana. Lantaran malu sudah dipandang kaya oleh orang-orang, demi gengsi, ibunya meminjam ke tengkulak padi, sekadar menutup biaya hidup sehari-hari. Kianlah hari utang itu kian menumpuk. Berbunga. Tini yang masih remaja tak bisa memilih. Beban keluarga jatuh pada pundaknya. Seorang tetangga merasa iba.

"Koh, saya ada bawa orang dari kampung. Koh mau?" tanya seorang lelaki bertubuh pendek. Di sampingnya, seorang gadis menatap tanah. Ia menggendong tas kecil. Ada potongan baju tampak menyembul di ujung ritsleting tas yang terbuka.

Lelaki yang disapa Koh itu menyahut, "Emang dia bisa apa? Ha? Bisa kerja?"

"Bisalah, Koh, diajari. Tolonglah!"

Tak berapa lama, mereka bertiga masuk. Duduk. Di depan meja. Ada tanya terucap, ada jawab terbilang. Seperti transaksi, negosiasi berakhir sepakat.

Betapalah sulit kiranya manusia negosiasi dengan pikirannya. Jikalau ada memori yang ingin dihapus, tentulah Tini sangat ingin melupakan bapaknya. Namun, lama-kelamaan, ia hanya bisa melupakan dirinya. Ia seperti tak bisa menjadi dirinya.

Tak ada lagi bangun kesiangan. Hidup harus disiplin. Waktu adalah uang. Lupakan segala manja. Kalau mau makan, harus kerja keras. Di kota besar, mental mesti kuat. Semua didikan Koh Andi mengubah tabiatnya. Awalnya ia seperti tak kenal dirinya. Di rumah, kali kepulangan yang kedua, buku-buku tersusun rapi di meja. 

Malam itu sebelum tidur, ia menyapu lantai kamar. Debu yang tertinggal bersih sudah. Noda-noda cokelat pada ubin tersapu dengan pel. Bantal dan guling tertata. Ujung kain seprei tak ada yang terlipat. Tepat pukul enam pagi, ia sudah bangun.

Ia lantas pergi ke ruang tengah, menyiapkan dua gelas teh hangat di meja makan. Setelah itu, ia keluar ke warung sebelah, membeli dua potong roti cokelat. Roti itu ia sajikan di atas piring bersama kue-kue yang baru ia keluarkan dari dalam tas. Ibunya yang baru bangun tidur terheran-heran. Siapa yang mengubah Tini? Tak ada lagi tangis manja. Tak ada lagi jiwa yang lemah. Tak ada lagi anak gadis kesiangan.

Dalam kerasnya didikan, Tini awalnya memang tak kuat. Tapi, lebih tak kuat lagi ia membayangkan tunggakan ibunya yang kian berbunga. Tak kuat lagi ia melihat ibunya kelaparan tak ada uang sekadar makan. Soal bapaknya, janganlah ditanya betapa berat mengingat itu.

Pada akhirnya, Tini tahu, dalam didikan-didikan itu, Koh Andi sebetulnya sayang padanya. Ia ingin membentuk dan mengubah Tini. Semakinlah Tini sadar, Koh Andi betul-betul sayang padanya, lantaran dua kue keranjang yang masih terbungkus rapi berwarna cokelat kemerahan pun sebuah amplop angpau terletak di samping berkas-berkas mejanya, tepat setelah tahun baru Imlek dan sehari cuti yang baru Tini ajukan.

"Kamu sudah nyaman dengan kerjamu sekarang, Tin?"

Tini tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tangannya memotong kue keranjang dengan pisau yang sudah diambilnya dari dapur. Terima kasih Koh Andi, batinnya.

...

Jakarta,

21 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun