Namanya Ringgi. Bila kusebutkan nama itu di desaku, sebagian orang akan terkejut, diam sebentar, lantas memasang air muka seolah-olah tidak mendengar. Untuk sebagian orangtua, mereka hanya tersenyum dan berharap lekas bertemu dengannya. Orang-orang menyebutnya sebagai teman baik para mayat.
Ia bukanlah seorang tukang gali kubur yang sehari-hari hidup dari menunggu orang mati. Ia juga bukan seorang juru kunci yang menjaga makam dan punya wewenang mengatur segala hal soal makam. Orang-orang menganggapnya lebih dari kedua itu.
Jika tukang gali kubur bisa bergantian orangnya, pun juru kunci dapat diwakilkan kehadirannya, Ringgi selalu dan hanyalah dia yang terus ada saat pemakaman para warga.
Entah kenal atau tidak, entah laki atau perempuan, tak pernah pula disoalkan perihal keyakinan, Ringgi terus ada saat jenazah yang ditinggalkan roh siap-siap menyatu bersama tanah. Saat itulah, ia membuka payung hitamnya, menundukkan tatapan ke arah tanah kubur, seraya mulutnya komat-kamit merapal sesuatu, yang sampai sekarang dipercaya warga, ia sedang mendoakan para arwah.
Aku awalnya tak percaya. Mana ada, seseorang selalu bisa hadir di pemakaman orang-orang mati di desa ini, yang kutahu sendiri jumlah penduduknya ribuan? Belum soal kuburan yang tersebar di sudut-sudut desa sebanyak lima puluh. Dari mana Ringgi tahu, informasi kematian tiap-tiap orang di wilayah seluas ini? Tapi, mau percaya atau tidak, itulah kesaksian seorang tukang gali kubur yang kutemui waktu keluarga kami menguburkan ibu.
"Ibu baru ketemu Ringgi?" tanyanya sambil duduk di bawah gubuk beratap rumbia di pinggir pemakaman. Matahari sudah turun dari puncak. Para pelayat pulang satu demi satu. Aku menyaksikan Ringgi masih berdiri di depan kubur ibu.
"Memang kenapa, Pak? Ada apa emangnya kalau ketemu Ringgi?"
Tukang gali kubur hanya tersenyum. Ia seperti sudah tahu jawabannya meskipun tadi ia bertanya dengan kening berkerut. Aku sendiri tak bisa menjawab karena aku pulang ke desa ini, ibu sudah meninggal. Ibu mendadak meninggal.
"Kamu tidak tahu, Nak? Orang-orang di sini percaya, siapa pun yang ketemu Ringgi dengan sengaja, umurnya tak akan lama."
Selintas kusadari, sudah lama aku tidak pulang. Orang yang bernama Ringgi itu baru beberapa hari ini kutahu. Banyak yang sudah berubah. Pertama masuk gerbang desa, aku terheran-heran dengan rumah orang-orang yang serba modern. Tak ada lagi batu-batu dan kerikil bergeronjal di jalan.
Aspal hitam membentang di mana-mana. Pohon-pohon mulai hilang, diganti pagar-pagar tinggi nan menjulang. Sangat jarang kulihat bapak-bapak menenteng cangkul pergi ke sawah. Ibu-ibu tak tampak pula menyunggi tampah berisi jajanan untuk dijual. Anak-anak tak ada yang bermain di halaman. Persis seperti yang biasa kulihat di kota tempatku sekolah. Semua membaca ponsel, bicara di depannya, semua menjadi sibuk dengan tangan masing-masing. Lucunya, kepercayaan soal hal-hal takhayul masih saja ada, menempati barang sedikit bilik pikiran orang-orang desa ini yang tampaknya sudah modern.
"Maksud Bapak bagaimana?" tanyaku tak lama setelah tukang gali kubur yang kuketahui bernama Masli itu mencuci sepatu botnya di bawah kucuran air keran. Kulihat sepatunya -- yang dasarnya hitam -- begitu cokelat. Barangkali ada gumpalan-gumpalan tanah masuk ke dalamnya.
"Ya itu. Tadi kan Bapak tanya, apakah ibu baru ketemu Ringgi? Kalau iya, maka jangan heran, ibu secepat ini meninggal. Ringgi itu utusan malaikat pencabut nyawa."
Ada-ada saja pak tua di depanku ini. Usianya tak lebih tua dari kakekku. Jenggotnya putih, sedikit kuning kecokelatan, panjang dan kusut. Ada logika yang ingin kukatakan padanya sebagai sanggahan orang modern -- aku berharap ia tak mudah percaya begituan, tapi apa lacur, mulutku diam seketika. Tiba-tiba Ringgi lewat melintas di samping gubuk kami. Pak tua memberi kode supaya aku melihat ke tanah. Pak tua lekas menekan topi capingnya dalam-dalam. Sesuai perintah, aku menatap tanah.
Bau kemenyan tercium. Wangi bunga Melati menyeruak kembali seperti ketika aku berada tak jauh darinya di sekeliling makam ibu. Aku tak pernah berhasil melihat wajahnya dengan jelas. Rambutnya gondrong. Selain itu, payungnya yang terbuka menutup wajah. Yang bisa kupastikan hanyalah suaranya kecil serak-serak parau, yang kudengar saat komat-kamit membaca entah doa entah mantra satu jam tadi.
Selidik punya selidik dan setelah kudengar dari juru kunci makam ini, sebagian orang menghindar untuk menatap matanya. Ringgi pun seperti sengaja selalu melihat ke arah tanah dan hanya akan menatap mata orang yang dirasanya sebentar lagi meninggal.
Di sela-sela ketakutan warga, ada yang menganggapnya layaknya pahlawan. Sebagian memujinya sebagai orang yang paling punya simpati dan empati karena hadir di peristiwa akhir kehidupan manusia.
Seorang warga pun meninggalkan bungkusan entah apa di depan rumahnya, sebagai ucapan terima kasih karena Ringgi datang sementara anggota keluarga yang meninggal tak satu pun datang. Kalau dipikir-pikir, barangkali wajar memang, orang-orang enggan mendatangi makam penjahat. Siapa yang mau menengok jasad penipu? Siapa yang sudi meluangkan waktu mendoakan jasad pemerkosa? Kebanyakan malah mengharap orang-orang itu cepat mati dan mendapat balasan setimpal. Ringgi tak pernah melihat latar belakang kehidupan orang yang mati. Baginya, semua orang baik orang baik maupun orang jahat, pastilah akan mati. Dan namanya kematian, segala hal soal kehidupan sudah selesai. Buat apa lagi dipermasalahkan?
Seperti kuceritakan di awal, Ringgi selalu hadir di setiap pemakaman orang-orang di desa ini. Itulah sebabnya ia dijuluki teman baik para mayat. Orang-orang yang sudah lanjut usia dan rindu menjadi mayat kerap mendatangi rumahnya. Orang-orang itu kulihat seperti tak lagi punya harapan hidup. Ada yang kudengar tinggal sendirian tanpa anak-anak, sedih meratapi kesendirian, melapuk bersama rumah. Ada yang sudah bosan dengan dunia yang begitu jahat. Ada yang ingin cepat-cepat masuk surga yang semua orang tentu merindukan.
Tapi sayang, Ringgi tak semudah itu menatap mata mereka, ketika mereka terus berdesak-desakan, berdiri di depan pintu rumahnya, menggedor-gedor daun pintu, ada yang berusaha masuk lewat jendela, rela berpanas-panasan di bawah terik matahari, bahkan sampai malam tiba dan pastilah masuk angin karena hujan sudah turun dengan derasnya. Tubuh tua mana yang mampu menahan itu?
Semua orang tahu Ringgi tak pernah keluar rumah selain menghadiri pemakaman pun mendatangi orang yang sebentar lagi dirasanya akan meninggal. Ringgi selalu menutup diri bahkan sekadar ngomong dengan tetangga sebelah rumahnya. Ia menyukai kesepian, keheningan, ketiadaan. Selain dari kesendirian, ia menemukannya dalam kematian.
Meskipun tampak mustahil, orang-orang tua itu tetap bersikeras menemuinya. Satu dua kakek rebah di tanah. Beberapa tua-tua duduk dengan muka layu. Tongkat kayu berwarna cokelat milik seorang nenek terlepas dari tangan, menggelinding ke jalan. Nenek itu menyandarkan diri ke batang pohon Mangga, satu-satunya pohon di halaman rumah Ringgi. Ada yang berteriak memanggil-manggil nama Ringgi. Orang-orang yang sudah menggedor pintu sejak tadi, masih terus saja menggedor. Ada-ada saja usaha orang yang tak punya harapan hidup dan ingin cepat-cepat mati.
Kusaksikanlah itu sebagai peristiwa terakhir yang bisa kuceritakan padamu. Aku berharap, kau tidak mendapat nasib sial -- yang di pandangan orang-orang tua tanpa harapan, itu adalah sebuah keberuntungan -- saat berkunjung ke desaku. Kau tidak menatap mata Ringgi dan Ringgi pun tidak mendatangi rumah tempat kau menginap dengan sengaja. Tapi, jika itu terjadi, lebih baik kukatakan sekarang agar kau tidak kaget.
Mata Ringgi jelek sekali. Tak ada warna hitam di tengah bola mata kanannya. Semua serba putih. Bola mata kirinya hilang. Pintu rumahku baru saja dibukanya. Ia sedang menatap mataku sekarang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI