Aspal hitam membentang di mana-mana. Pohon-pohon mulai hilang, diganti pagar-pagar tinggi nan menjulang. Sangat jarang kulihat bapak-bapak menenteng cangkul pergi ke sawah. Ibu-ibu tak tampak pula menyunggi tampah berisi jajanan untuk dijual. Anak-anak tak ada yang bermain di halaman. Persis seperti yang biasa kulihat di kota tempatku sekolah. Semua membaca ponsel, bicara di depannya, semua menjadi sibuk dengan tangan masing-masing. Lucunya, kepercayaan soal hal-hal takhayul masih saja ada, menempati barang sedikit bilik pikiran orang-orang desa ini yang tampaknya sudah modern.
"Maksud Bapak bagaimana?" tanyaku tak lama setelah tukang gali kubur yang kuketahui bernama Masli itu mencuci sepatu botnya di bawah kucuran air keran. Kulihat sepatunya -- yang dasarnya hitam -- begitu cokelat. Barangkali ada gumpalan-gumpalan tanah masuk ke dalamnya.
"Ya itu. Tadi kan Bapak tanya, apakah ibu baru ketemu Ringgi? Kalau iya, maka jangan heran, ibu secepat ini meninggal. Ringgi itu utusan malaikat pencabut nyawa."
Ada-ada saja pak tua di depanku ini. Usianya tak lebih tua dari kakekku. Jenggotnya putih, sedikit kuning kecokelatan, panjang dan kusut. Ada logika yang ingin kukatakan padanya sebagai sanggahan orang modern -- aku berharap ia tak mudah percaya begituan, tapi apa lacur, mulutku diam seketika. Tiba-tiba Ringgi lewat melintas di samping gubuk kami. Pak tua memberi kode supaya aku melihat ke tanah. Pak tua lekas menekan topi capingnya dalam-dalam. Sesuai perintah, aku menatap tanah.
Bau kemenyan tercium. Wangi bunga Melati menyeruak kembali seperti ketika aku berada tak jauh darinya di sekeliling makam ibu. Aku tak pernah berhasil melihat wajahnya dengan jelas. Rambutnya gondrong. Selain itu, payungnya yang terbuka menutup wajah. Yang bisa kupastikan hanyalah suaranya kecil serak-serak parau, yang kudengar saat komat-kamit membaca entah doa entah mantra satu jam tadi.
Selidik punya selidik dan setelah kudengar dari juru kunci makam ini, sebagian orang menghindar untuk menatap matanya. Ringgi pun seperti sengaja selalu melihat ke arah tanah dan hanya akan menatap mata orang yang dirasanya sebentar lagi meninggal.
Di sela-sela ketakutan warga, ada yang menganggapnya layaknya pahlawan. Sebagian memujinya sebagai orang yang paling punya simpati dan empati karena hadir di peristiwa akhir kehidupan manusia.
Seorang warga pun meninggalkan bungkusan entah apa di depan rumahnya, sebagai ucapan terima kasih karena Ringgi datang sementara anggota keluarga yang meninggal tak satu pun datang. Kalau dipikir-pikir, barangkali wajar memang, orang-orang enggan mendatangi makam penjahat. Siapa yang mau menengok jasad penipu? Siapa yang sudi meluangkan waktu mendoakan jasad pemerkosa? Kebanyakan malah mengharap orang-orang itu cepat mati dan mendapat balasan setimpal. Ringgi tak pernah melihat latar belakang kehidupan orang yang mati. Baginya, semua orang baik orang baik maupun orang jahat, pastilah akan mati. Dan namanya kematian, segala hal soal kehidupan sudah selesai. Buat apa lagi dipermasalahkan?
Seperti kuceritakan di awal, Ringgi selalu hadir di setiap pemakaman orang-orang di desa ini. Itulah sebabnya ia dijuluki teman baik para mayat. Orang-orang yang sudah lanjut usia dan rindu menjadi mayat kerap mendatangi rumahnya. Orang-orang itu kulihat seperti tak lagi punya harapan hidup. Ada yang kudengar tinggal sendirian tanpa anak-anak, sedih meratapi kesendirian, melapuk bersama rumah. Ada yang sudah bosan dengan dunia yang begitu jahat. Ada yang ingin cepat-cepat masuk surga yang semua orang tentu merindukan.
Tapi sayang, Ringgi tak semudah itu menatap mata mereka, ketika mereka terus berdesak-desakan, berdiri di depan pintu rumahnya, menggedor-gedor daun pintu, ada yang berusaha masuk lewat jendela, rela berpanas-panasan di bawah terik matahari, bahkan sampai malam tiba dan pastilah masuk angin karena hujan sudah turun dengan derasnya. Tubuh tua mana yang mampu menahan itu?
Semua orang tahu Ringgi tak pernah keluar rumah selain menghadiri pemakaman pun mendatangi orang yang sebentar lagi dirasanya akan meninggal. Ringgi selalu menutup diri bahkan sekadar ngomong dengan tetangga sebelah rumahnya. Ia menyukai kesepian, keheningan, ketiadaan. Selain dari kesendirian, ia menemukannya dalam kematian.