Meskipun tampak mustahil, orang-orang tua itu tetap bersikeras menemuinya. Satu dua kakek rebah di tanah. Beberapa tua-tua duduk dengan muka layu. Tongkat kayu berwarna cokelat milik seorang nenek terlepas dari tangan, menggelinding ke jalan. Nenek itu menyandarkan diri ke batang pohon Mangga, satu-satunya pohon di halaman rumah Ringgi. Ada yang berteriak memanggil-manggil nama Ringgi. Orang-orang yang sudah menggedor pintu sejak tadi, masih terus saja menggedor. Ada-ada saja usaha orang yang tak punya harapan hidup dan ingin cepat-cepat mati.
Kusaksikanlah itu sebagai peristiwa terakhir yang bisa kuceritakan padamu. Aku berharap, kau tidak mendapat nasib sial -- yang di pandangan orang-orang tua tanpa harapan, itu adalah sebuah keberuntungan -- saat berkunjung ke desaku. Kau tidak menatap mata Ringgi dan Ringgi pun tidak mendatangi rumah tempat kau menginap dengan sengaja. Tapi, jika itu terjadi, lebih baik kukatakan sekarang agar kau tidak kaget.
Mata Ringgi jelek sekali. Tak ada warna hitam di tengah bola mata kanannya. Semua serba putih. Bola mata kirinya hilang. Pintu rumahku baru saja dibukanya. Ia sedang menatap mataku sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H