Pekerjaan sebagai tukang sampah terasa berat karena butuh kekuatan fisik untuk menarik gerobak. Memanggul karung berisi sampah juga tidak ringan. Belum lagi berjalan di bawah terik matahari. Polusi asap kendaraan dan terpaan hujan sudah jadi pengalaman sehari-hari.
Tukang sampah itu juga paham benar bahwa sebagian sampah memang tidak berguna. Ia menyimpulkan pada akhir kalimat. Menjadi "sampah" bukan pilihan baik.
KBBI menjelaskan sampah:
barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya; kotoran seperti daun, kertas: jangan membuang -- sembarangan
hina: hidup sebagai gelandangan dianggap -- masyarakat
Sampah itu menyusahkan. Menjadi gelandangan dianggap sampah. Merepotkan orang dengan luntang-lantung saja di jalanan. Bahkan pengertian sampah masyarakat sendiri -- dijelaskan KBBI -- termasuk pengemis.
Tukang sampah itu tidak mau jadi "sampah". Ia lebih memilih menggunakan tenaganya untuk bekerja merapikan sampah yang terserak, memungut satu demi satu yang masih dianggap berguna, dan tidak lupa berjibaku bersama bau-bau busuk.
Menjaga martabat diri
Saya memahami bahwa tukang sampah itu menjaga martabat dirinya. Ia sadar, selama masih hidup, lebih baik bekerja -- sehina apa pun itu -- yang penting halal.
Ia memilih tidak merepotkan orang. Ia membangun nilai diri sebagai tukang sampah yang dapat penghasilan dari bekerja. Bisa jadi pendapatannya tidak lebih besar dari pengemis atau gelandangan yang beroleh belas kasihan.
Tukang sampah tetap tidak ingin menjual belas kasihan. Ia tidak ingin seperti dikasihani. Selama masih ada kekuatan, ia memilih bekerja. Sungguh, itu meninggikan kehormatan dirinya.