Waktu kecil, saya kerap sungkan ketika disuruh orangtua menukar uang kecil ke pedagang kelontong dekat rumah. Semisal, seratus ribu ditukar lima buah dua puluh ribu. Lima puluh ribu ditukar lima buah sepuluh ribu.
Kita tentu paham, pedagang kelontong gampang ditemui di sekitar. Dekat tempat tinggal, ada. Kita pergi ke suatu tempat, tidak jauh dari situ pun ada.
Jika bukan grosiran, ukuran warung kelontong rata-rata kecil. Jualannya terbatas. Seperti rokok, kudapan, alat-alat mandi, dan barang-barang lain keperluan sehari-hari. Biasanya sampai digantung di sana-sini, sehingga warungnya terlihat sempit dan penuh. Jika tidak ada keperluan, pedagangnya buka setiap hari.
Baru saja tadi (baca: hari ini), rasa sungkan masih saya rasakan. Ketika hendak pergi ke kantor, saya melihat saldo uang elektronik saya nihil. Belum sempat isi ke ATM.
Padahal, saya sudah memesan ojek daring. Otomatislah, saya perlu uang kecil (ongkos perjalanan Rp20.000,00), sementara di dompet hanya ada selembar Rp50.000,00.
Dari pengalaman saya membayar dengan uang besar ke pengemudi ojek daring, kebanyakan mereka tidak siap untuk membawa kembalian. Nah! Daripada kelamaan menunggu mereka mencari uang kecil, lebih baik saya saja yang cari.
Pergilah saya ke warung kelontong terdekat sembari menunggu pengemudi ojek datang. Saya lihat warungnya masih sepi. Saya berencana menukar Rp50.000,00 dengan dua buah dua puluh ribu dan sebuah sepuluh ribu.
Tetapi, karena rasa itu lebih mendominasi, saya urung sekadar menukar. Saya beli sekotak susu kecil rasa cokelat seharga lima ribu, sehingga mendapat kembalian Rp45.000,00.
Entah kenapa, sungkan itu selalu bertahan ketika hendak menukar uang kecil. Ada rasa tidak enak hati begitu. Tidak tega sekadar datang untuk menukar. Beberapa alasan berikut meyakini saya.
Pedagang kelontong bukan tempat tukar uang