"Apalagi ini, Bu? Buat apa gigiku dikubur di sana? Haruskah ditanam dalam tanah?"
"Sudahlah, tanam saja. Nanti gigi geraham atasmu itu tumbuh ke bawah dengan sempurna. Yang ada di atas harus dibuang ke bawah."
Lagi-lagi kakak menyela. Kali ini ia tidak berkata, melainkan menggerak-gerakkan dagunya ke arah lubang itu, seperti mengiyakan perintah ibu dan menyuruhku lekas mengubur gigi itu.
Kupikir, kakak sudah mengalami itu semua ketika aku belum lahir. Ia memang berjarak cukup jauh umurnya daripada aku. Barangkali waktu gigi-gigi kakak tanggal, ibu juga menyuruhnya seperti menyuruhku.
Kulihat ketika kakak tersenyum, giginya cantik sekali. Bersih, tidak ada yang rusak barang sedikit. Semua giginya tidak ada yang berlubang. Padat berisi dan kokoh. Giginya pun terawat rapi, putih, dan sesekali tampak sangat mengilat ketika sinar lampu terpantul di giginya.Â
Karena masih tersisa pertanyaanku akan suruhan ibu itu -- ibu selalu tidak bisa menjelaskan alasannya dan sekadar terus menyuruh, kucarilah jawabannya ke kakak.
"Memang betul, Kak? Gigi bawah kalau dilempar ke atas bisa tumbuh sempurna ke atas? Sebaliknya juga begitu?"
Kakak tertawa. Ruang makan itu riuh dengan suara kakak. Ibu lagi keluar ke pasar membeli lauk untuk kami makan siang itu. Kakak memperlihatkan gigi-giginya di depanku.
"Mana ada sih? Itu cuma mitos. Kamu mau percaya atau tidak, itu urusan kamu."
"Lantas, gigi kakak kok bagus-bagus?"
"Kamu kan tahu sendiri. Kakak rajin sikat gigi setiap pagi dan malam. Kakak sudah tidak makan yang manis-manis lagi. Kakak pun rutin mengecek gigi ke dokter enam bulan sekali."