"Tarik lidahnya ke dalam. Jangan ditempel begitu! Ibu gak bisa cabut gigimu kalau seperti itu."
Aku menarik lidahku.
"Ibu jangan mendadak cabutnya. Dihitung, supaya aku bisa siap-siap," pintaku dalam rengekku.
"Iya, ya. Ibu hitung sampai tiga. Nanti, kamu tarik napas panjang. Siap-siap!"
Satu, dua, ibu tersenyum. Jari-jarinya tiba-tiba berhenti. Aku menatap mata ibu. "Ibu mau bercanda?" Ibu malah menyeringai.
"Tiga!"
Gigi seri itu tercabut. Aku merasa ada bagian tubuhku yang hilang. Akar-akar gigi itu terlepas dengan cepat dari gusiku. Terlepas pula bersama ngilu-ngilu yang kemarin-kemarin menyiksaku.
"Tidak sakit, kan?"
Ibu meneteskan cairan entah apa ke gusiku yang berlubang, sehingga terasa nyaman, bahkan dingin. Aku melihat sedikit darah pada jari ibu, yang masih memegang erat gigi seriku itu. Ibu meraih telapak tangan kananku dan membukanya. Ibu menaruh gigi itu di situ.
"Ayo, Bi, ke belakang sebentar."
Kami berdua pergi ke dapur. Kakak mengikuti dari belakang. Di sebelah dapur, ada ruangan dengan atap terbuka, di mana sinar matahari bisa masuk dan bisa terlihat jelas genting-genting di atap rumah yang berwarna cokelat itu.