Terkadang, orang-orang yang dianggapnya pelatih itu sudah kehabisan kata-kata untuk menilai seberapa bagus lukisannya. Kali-kali saja, karena terus-menerus dilukis, menjadi hampir sempurna dan tiadalah cacat yang bisa dibetulkan.
Seorang lelaki bertubuh tinggi. Badannya berisi. Ia mengenakan kaus berwarna putih. Punggungnya lebar, sedikit menyembul dan tampak melekat di kaus, karena ototnya besar. Ia berdiri di samping gerobak beroda empat, yang gadis itu beri warna hijau.Â
Pada permukaan gerobak, ada cetakan-cetakan kecil terbuka berbentuk balok dan lonjong ke dalam gerobak, tidak seberapa dalam. Di sekitarnya, terserak tangkai-tangkai pipih dan pendek dari kayu berwarna cokelat. Lelaki itu memegang ujung gerobak. Gadis itu memberi sedikit guratan pada kepalan tangan lelaki yang menggenggam itu, seolah-olah lelaki itu sedang menggoyang-goyangkan gerobak.
Seperti itulah yang dijumpai Sodri. "Min, tuan putri minta dua es cokelat dan lima strawberry," kata Sodri dengan dada yang masih bergemuruh, karena habis mengemudi sangat kencang lewat jalan-jalan tikus yang berhasil dilacaknya dan kebetulan sepi. Ia tidak ingin mengecewakan majikannya.
Tanpa banyak bertanya, lelaki yang dipanggil Jamin itu lekas membuat adonan. Tidak perlu menunggu lama, pesanan selesai. Jamin meletakkan tujuh es yang masing-masing tertancap tangkai kecil itu, dalam sebuah rantang berisi es-es balok, dengan harap es goyang itu tetap dingin dan tidak mencair seusai menempuh perjalanan panjang.
"Sampaikan salamku ke tuan putri," Jamin berucap seraya tersenyum. Karena Sodri terlalu fokus dengan es itu, ia tidak sempat melihat lekukan bibir Jamin.
Gadis itu masih terus menggambar. Kali ini, tidak jauh dari tempat lelaki itu berdiri, ada seorang perempuan sedang melangkah, menyeberang jalan raya. Ia mengenakan tas merah di pinggang, berisi gulungan-gulungan kertas. Pipinya gemuk.
Perempuan itu terlukis dengan mata terbelalak. Mulutnya terbuka. Begitu lebar. Mulut itu hanya terbuka, tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Perempuan itu tampak terkejut dan tidak menyangka, sebuah mobil mendadak datang begitu cepat ke arahnya, seperti sengaja ingin menabraknya.Â
Gadis itu menghentikan gerak jari-jarinya. Ia tidak mampu melanjutkan lukisan. Barangkali, ia pun tidak akan bisa melanjutkan hidup, jika lelaki itu tidak berlari ke arahnya, mendorong tubuhnya, sampai mereka berdua jatuh terperosok ke trotoar.
Ia sudah berusaha minta tolong dengan menepuk-nepukkan tangan ke orang sekitar, tetapi tidak ada satu pun menoleh. Mulutnya yang bisu itu tidak bisa diharap untuk sekadar berteriak. Untunglah, Jamin sempat melihatnya.
Sejak saat itu, gadis itu merasa Jamin adalah seorang lelaki yang dihadirkan oleh langit sebagai teman hidupnya. Setiap kali ia duduk dan menghabiskan waktu dengan melukis di taman, Jamin selalu memberinya dua tangkai es goyang, satu rasa cokelat, satu lagi strawberry.Â