Tidak ada tersisa nasi di meja itu.
Seorang anak memandang piring kosong."Kita makan apa, Bu?" tanyanya.
Ibunya datang dari dapur.
Ia membawa sebuah gelas kecil berisi air.
"Minumlah dulu, Nak," jawabnya.
Ibu kembali ke dapur.
Tidak berapa lama, anak itu berkata lagi, "Ibu, aku lapar."
Sang ibu menangis. Air matanya jatuh ke dalam gelas.
Puisi berjudul "Pada Suatu Meja" di atas saya tulis tanggal 17 September 2021 dan menyabet Artikel Utama. Puisi itu sederhana, tanpa memainkan diksi mewah, rumit, dan memikat. Bahasanya sangat mudah dimengerti. Untuk perasaan dan keadaan yang disiratkan, lain hal.
Puisi itu mendapat nilai dan komentar beberapa Kompasianer dan satu dua di antaranya berhasil menangkap nuansa kesedihan. Saya pun menanggapi dengan menyatakan bahwa saya menitikkan air mata ketika menyelesaikan puisi itu.
Kondisi kelaparan dunia
Dari internasional.kontan.co.id (13/7/2021), diberitakanlah angka kelaparan dan kekurangan gizi global yang melonjak signifikan sepanjang tahun lalu (baca: 2020). Penyebab utamanya adalah Covid-19.Â
Dilansir dari Reuters, laporan badan PBB -- disusun oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Program Pangan Dunia (WFP), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) -- pada Senin (12/7/2021), menunjukkan jumlah orang kekurangan gizi tahun 2020 naik menjadi 768 juta, setara dengan 10% populasi dunia dan naik 118 juta dibanding tahun 2019.Â
Dari 768 juta orang itu, 418 juta berada di Asia, 282 juta di Afrika, dan 60 juta di Amerika Latin dan Karibia. Di Afrika, 21% orang kekurangan gizi, dua kali lipat lebih banyak dari wilayah lain.
Puisi untuk merekam fenomena sosial
Demikianlah, puisi itu tercipta berdasarkan berita. Bahwa ada orang-orang di sekitar yang untuk makan saja susah payah. Padahal kita tahu, makan adalah salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
...Tidak ada tersisa nasi di meja itu...
Tidak usah jauh-jauh berkata soal sayur-mayur dan lauk-pauk. Sebatas nasi saja, bahan makanan terutama, tidak ada yang bisa dimakan. Kelaparan timbul.Â
...Seorang anak memandang piring kosong...
"Kita makan apa, Bu?" tanyanya.
Itulah yang ditatap kaum papa setiap hari. Barangkali sedikit pun tidak terlintas mau pakai baju apa atau tinggal meneduh di mana. Bagaimana perut yang meronta-ronta minta makan terus-menerus dihadapkan pada ketiadaan makanan.
Ibunya datang dari dapur.
Ia membawa sebuah gelas kecil berisi air.
"Minumlah dulu, Nak," jawabnya.
Kasih ibu dalam keluarga tidak pernah diragukan betapa dahsyatnya. Tidak ada ibu yang tenang-tenang saja jika anaknya belum makan. Bahkan, banyak ibu yang rela tidak makan asal anaknya makan.
Ibu kembali ke dapur.
Tidak berapa lama, anak itu berkata lagi, "Ibu, aku lapar."
Sang ibu menangis. Air matanya jatuh ke dalam gelas.
Ketika anak bilang lapar, ibunya menangis. Kelaparan memang identik dengan kesedihan. Saking tidak ada makanan, menangis adalah reaksi wajar sebab kelaparan.Â
Siapa yang peduli dengan kita? Bagaimana kita melanjutkan hidup? Sampai kapan kelaparan berakhir? Pertanyaan-pertanyaan itu tersirat dalam bahasa tangis yang tidak sanggup terkatakan.
Ibu menangis di dapur, tidak di depan anaknya, karena ibu berusaha kuat dan sering dalam kelemahannya, tetap dikuat-kuatkan hanya untuk anaknya.Â
Berapa banyak air mata Ibu yang tertumpah dan tidak pernah Anda lihat?
Ibu menangis -- tanda kelelahan -- karena telah bekerja mati-matian mencari makanan untuk anaknya. Meskipun tidak ada makanan, ia tetap berupaya mengenyangkan perut anaknya, dengan air matanya yang terus mengalir dan ditampungnya dalam gelas. Barangkali, air mata yang menjadi air minum itu bisa menghilangkan kelaparan anaknya.
Itulah, kondisi yang sedang terjadi pada saudara-saudara kita di sekitar atau sebagian kita. Kelaparan sebagai sebuah bencana adalah kenyataan.
Akhir kata...
Saya teringat akan nasihat ibu waktu kecil ketika kami sekeluarga makan bersama di atas meja. Ibu bilang bahwa jangan sisakan makanan di piring. Kalau makan harus habis. Ambil secukupnya, jangan berlebihan.
Barangkali bukan soal petani akan menangis jika nasi tersisa di piring. Tetapi, sungguhlah, masih banyak yang tidak seberuntung kita, sekadar bisa makan hari ini.
Pada sisi lain, kita sering mengeluh kebingungan mau makan apa, karena bosan dengan menu yang itu-itu saja. Di luar sana, ada yang kebingungan, melihat piring selalu kosong setiap saat.
Coba buka tudung saji dan tengok menu makan Saudara malam ini.Â
Jika masih ada nasi di sana, sayur-mayur lengkap, lauk-pauk cukup, bahkan tersedia buah dan susu, saya tidak tahu lagi, kata-kata apa yang bisa menggambarkan betapa patut kita bersyukur dan sungguh begitu beruntung hidup kita.
...
Jakarta
23 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H