Siapa yang peduli dengan kita? Bagaimana kita melanjutkan hidup? Sampai kapan kelaparan berakhir? Pertanyaan-pertanyaan itu tersirat dalam bahasa tangis yang tidak sanggup terkatakan.
Ibu menangis di dapur, tidak di depan anaknya, karena ibu berusaha kuat dan sering dalam kelemahannya, tetap dikuat-kuatkan hanya untuk anaknya.Â
Berapa banyak air mata Ibu yang tertumpah dan tidak pernah Anda lihat?
Ibu menangis -- tanda kelelahan -- karena telah bekerja mati-matian mencari makanan untuk anaknya. Meskipun tidak ada makanan, ia tetap berupaya mengenyangkan perut anaknya, dengan air matanya yang terus mengalir dan ditampungnya dalam gelas. Barangkali, air mata yang menjadi air minum itu bisa menghilangkan kelaparan anaknya.
Itulah, kondisi yang sedang terjadi pada saudara-saudara kita di sekitar atau sebagian kita. Kelaparan sebagai sebuah bencana adalah kenyataan.
Akhir kata...
Saya teringat akan nasihat ibu waktu kecil ketika kami sekeluarga makan bersama di atas meja. Ibu bilang bahwa jangan sisakan makanan di piring. Kalau makan harus habis. Ambil secukupnya, jangan berlebihan.
Barangkali bukan soal petani akan menangis jika nasi tersisa di piring. Tetapi, sungguhlah, masih banyak yang tidak seberuntung kita, sekadar bisa makan hari ini.
Pada sisi lain, kita sering mengeluh kebingungan mau makan apa, karena bosan dengan menu yang itu-itu saja. Di luar sana, ada yang kebingungan, melihat piring selalu kosong setiap saat.
Coba buka tudung saji dan tengok menu makan Saudara malam ini.Â
Jika masih ada nasi di sana, sayur-mayur lengkap, lauk-pauk cukup, bahkan tersedia buah dan susu, saya tidak tahu lagi, kata-kata apa yang bisa menggambarkan betapa patut kita bersyukur dan sungguh begitu beruntung hidup kita.