Suatu kali saya sedang bercakap dengan teman-teman tentang kebiasaan menulis yang saya gemari. Saya bercerita panjang lebar, bagaimana bisa saya suka menulis dan sekilas seputar cara mencari ide untuk dituliskan. Satu dua cerpen saya pernah saya bagikan untuk dibaca mereka.
Pada akhir perbincangan, ketika saya sebutkan sematan "pengarang" yang melekat di diri saya -- berdasarkan keterangan salah satu situs blog di mana saya terdaftar sebagai penulis di sana, salah satu teman sedikit tertawa.
"Pengarang? Bukannya itu negatif ya?"
Saya tertegun. Saya menangkap ekspresinya seperti memandang pengarang dalam konotasi (makna kiasan) negatif. Apa benar, pengarang terkesan negatif di sebagian masyarakat? Apa perlu kita ganti sebutannya?
Pujangga, penyair, dan pengarang
Dalam tulis-menulis, sependektahuan saya, ada tiga sebutan yang menandakan seseorang menghasilkan karya fiksi. Saya tidak bilang profesi, karena tidak semua menggantungkan hidup darinya.Â
Ya, kalau sudah profesi, berarti ada fokus di sana dan menggelutinya benar-benar sebagai sumber penghasilan. Barangkali ada penulis yang menjadikan menulis sebagai hobi atau sampingan, itu bukan profesi.
Di KBBI, sebutan itu: pujangga, penyair, dan pengarang. Masing-masing dengan pengertiannya:
pujangga: pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa dan ahli pikir; ahli sastra; bujangga
penyair: pesyair
pengarang: orang yang mengarang cerita, berita, buku, dan sebagainya; penulis dan pencipta; penggubah dan perangkai bunga, manik-manik, dan sebagainya:Â
Boleh saya simpulkan, penyair dan pengarang adalah bagian dari pujangga. Penyair fokus menciptakan sajak atau puisi, sementara pengarang menulis cerita, pendek atau panjang, cerpen atau novel dan sebagainya.
Memahami konotasi negatif sematan
Bila saya pahami benar arti kata pengarang, barangkali pengertian pertama yang membuat sebagian orang melihatnya terkesan negatif. Orang yang mengarang cerita, berita, buku, dan sebagainya.
Saya sempitkan lagi bagian "orang yang mengarang cerita". "Mengarang" sendiri salah satu artinya: menulis dan menyusun sebuah cerita, buku, sajak, dan sebagainya.
Kata "mengarang" bisa merujuk ke hal benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak untuk ditiru, dalam segala karangannya. Kalau secara lisan, orang mengarang wajib dipertanyakan keaslian dan kebenarannya.
"Ngomong yang benar! Jangan ngarang kamu!"
Apakah orang ini berbicara seperti begitu adanya? Tidak menambah atau mengurangi? Apakah orang yakin, omongannya dapat dipegang? Orang yang suka mengarang ketika berbicara barangkali memang sulit dipercaya. Bagaimana ketika menulis?
Konteks mengarang dalam menulis tentu beda
Yang namanya karya fiksi, pengarang bebas menulis apa saja. Kisah baik atau buruk, hal benar atau tipuan, dalam peran tiap-tiap tokoh.
Pengarang hanya mencurahkan isi pikiran sebagai karya. Tentu, cerita kuranglah menarik jika isinya hanya yang benar dan baik saja. Tidak seperti itu, kenyataan yang dialami manusia.
Pasti, ada yang tidak mengenakkan. Wajar muncul konflik, bahkan ada yang tidak masuk akal. Penipu, penjahat, pembohong, ada pada kenyataan. Menuliskan itu sebagai salah satu unsur cerita sah-sah saja.
Cerita fiksi pun tidak untuk dinyatakan benar atau salah. Meskipun, ketika menyinggung perihal budaya atau sejarah, sebagian harus benar sesuai yang pernah terjadi.
Tidak ada batasan bagi pengarang untuk mencurahkan kelicikan pikirnya sebagai orang jahat, kebejatan niatnya sebagai pembunuh, kengerian bayangannya untuk menakut-nakuti pembaca.Â
Itu hanyalah sebuah cerita, yang pembaca sendiri bisa mengambil pesan moralnya. Ya, karangan apalagi sastra diharap memberi pesan baik sebagai kesimpulan dari jalannya cerita.
Sebutan khusus
Ada sebutan pengarang yang khusus sesuai jenis karya. Seperti saya, di Kompasiana, menyematkan "cerpenis" daripada pengarang. Karena memang saya menuliskan cerita pendek.
Ada pula "novelis" untuk pengarang yang pekerjaannya menulis novel. Khusus "cerpenis", kalau mau dibilang, masih jarang orang-orang tahu.
Apa itu cerpenis? Beda hal dengan novelis atau pengarang. Ingin saya sebut diri saya pengarang, tetapi begitulah, malah terkesan negatif.
Tidak ambil pusing
Bagaimana reaksi saya selanjutnya setelah perbincangan itu? Apakah saya tidak sudi disebut pengarang lagi? Setelah tertegun, saya malah tertawa. Ikut tertawa bersama teman itu.
Saya tidak ambil pusing akhirnya, mau disebut pengarang atau cerpenis. Yang penting, saya tetap menulis cerita. Saya terus berkarya, menghasilkan cerpen yang tentu saya harap semakin berkualitas ke depan. Sebutan itu sama sekali tidak menggoyahkan semangat saya untuk menulis.
Bagi Anda yang sering menulis cerita fiksi, mana sebutan yang lebih Anda suka? Pengarang, cerpenis, atau novelis?
...
Jakarta
20 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H