Cerita fiksi pun tidak untuk dinyatakan benar atau salah. Meskipun, ketika menyinggung perihal budaya atau sejarah, sebagian harus benar sesuai yang pernah terjadi.
Tidak ada batasan bagi pengarang untuk mencurahkan kelicikan pikirnya sebagai orang jahat, kebejatan niatnya sebagai pembunuh, kengerian bayangannya untuk menakut-nakuti pembaca.Â
Itu hanyalah sebuah cerita, yang pembaca sendiri bisa mengambil pesan moralnya. Ya, karangan apalagi sastra diharap memberi pesan baik sebagai kesimpulan dari jalannya cerita.
Sebutan khusus
Ada sebutan pengarang yang khusus sesuai jenis karya. Seperti saya, di Kompasiana, menyematkan "cerpenis" daripada pengarang. Karena memang saya menuliskan cerita pendek.
Ada pula "novelis" untuk pengarang yang pekerjaannya menulis novel. Khusus "cerpenis", kalau mau dibilang, masih jarang orang-orang tahu.
Apa itu cerpenis? Beda hal dengan novelis atau pengarang. Ingin saya sebut diri saya pengarang, tetapi begitulah, malah terkesan negatif.
Tidak ambil pusing
Bagaimana reaksi saya selanjutnya setelah perbincangan itu? Apakah saya tidak sudi disebut pengarang lagi? Setelah tertegun, saya malah tertawa. Ikut tertawa bersama teman itu.
Saya tidak ambil pusing akhirnya, mau disebut pengarang atau cerpenis. Yang penting, saya tetap menulis cerita. Saya terus berkarya, menghasilkan cerpen yang tentu saya harap semakin berkualitas ke depan. Sebutan itu sama sekali tidak menggoyahkan semangat saya untuk menulis.
Bagi Anda yang sering menulis cerita fiksi, mana sebutan yang lebih Anda suka? Pengarang, cerpenis, atau novelis?