Seberapa sering Anda membaca cerpen buatan pengarang dalam negeri? Pernahkah Anda membaca cerpen bernuansa budaya? Saya sempitkan pengarangnya berdomisili di dalam negeri, karena tentu, yang sebagian besar lebih mengerti budaya Indonesia adalah orang kita sendiri.
Barangkali ada cerpen mengupas budaya luar negeri, itu hal lain. Kita fokus saja yang di dalam. Sekaligus menaikkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Indonesia adalah tempat berbagai budaya tinggal. Banyak suku, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan, dan unsur budaya lain yang masih terpelihara baik bahkan mungkin berkembang di seantero wilayah Indonesia.
Budaya menurut KBBI berarti:
pikiran; akal budi: hasil --
adat istiadat: menyelidiki bahasa dan --
sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju)
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah
Peran cerpen dalam melestarikan budaya
Selain kebiasaan itu bertahan dan masih dilakukan oleh suku-suku, diabadikan pula dalam bentuk tulisan ilmiah oleh sebagian akademisi yang tertarik dan ahli di bidang budaya.
Masih ada lagi para pengarang yang sedikit banyak berkontribusi mengenalkan budaya dalam karya fiksinya, entah novel atau cerpen.
Taruhlah cerpen "Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon" karya Faisal Oddang, menjadi cerpen pilihan Kompas tahun 2014 dan terbaik, sehingga dijadikan sampul buku.
Kurang lebih ceritanya menggambarkan kebiasaan masyarakat Toraja dalam menguburkan bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi pada bilik-bilik dalam tubuh pohon Tarra.
Lebih lanjut, berdasarkan Merdeka.com:
Pemilihan pohon Tarra sebagai pusara bukan tanpa alasan. Dilansir Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, batang pohon Tarra yang besar dianggap sebagai pengganti rahim ibu. Jadi, dengan "menanamkan" jenazah di dalam batang pohon, bayi yang sudah meninggal seperti dikembalikan ke kandungan ibunya.
Melalui cara ini, warga Toraja percaya, bayi-bayi lain yang lahir kemudian akan terselamatkan dari takdir yang sama, yaitu kematian. Selain itu pohon Tarra memiliki getah yang sangat banyak. Getah ini dimaksudkan sebagai pengganti air susu ibu.
Ada lagi cerpen "Kasur Tanah" karya Muna Masyari, terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas tahun 2017 dan juga terbaik seperti "Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon".
Secara garis besar, cerpen ini mengangkat tema tentang kebiasaan yang berlaku di masyarakat Madura. Penggunaan kata "Embu" yang berarti "ibu" dalam bahasa Madura kental sekali.
cerpen budaya lain yang juga mendapat perhatian lebih dari redaktur Kompas sehingga dibukukan menjadi cerpen pilihan. Barangkali setiap buku per tahun, tidak ada satu pun yang tidak ada cerpen budayanya.
Masih banyakAda keterbatasan yang tidak boleh dilanggar
Saya berpendapat bahwa cerpen budaya memiliki nilai unik dibanding cerpen lain. Di sini, tentu cerpen bukan asal sembarang cerita.
Ada hal-hal yang sudah pernah ada, diliputi batasan-batasan tertentu, yang tidak boleh dikarang oleh imajinasi pengarang. Ini karena sumber cerita berasal dari budaya suku tertentu, yang harus seperti itu adanya. Barangkali imajinasi bisa dikembangkan seputar konflik yang tidak mengubah budaya.Â
Bagaimana suku memercayai sesuatu, mengapa melakukan bahkan menganggap sebuah malapetaka jika alpa, hal-hal dan barang apa saja yang diperlukan untuk melakukan adat istiadat, dan seterusnya seputar budaya suku adalah hal pakem yang tidak boleh diubah.
Pengarang hanya merangkai kembali muatan cerita budaya dalam gaya bahasa fiksi, sehingga asyik dan terkesan lebih ringan dibaca.
Susah payah menulisnya...
Saya percaya, dalam menulis cerpen bertema budaya, tidaklah mudah. Tidak sekadar mengandalkan imajinasi dan karangan di kepala. Pengarang harus melakukan riset untuk memastikan segala hal yang ditulis tidak menyalahi aturan serta menggambarkan benar peristiwa budaya itu.
Semisal, membaca literatur terkait atau berkunjung langsung ke lokasi tempat budaya diselenggarakan. Melakukan wawancara dengan masyarakat suku, tentu lebih baik. Mengamati kebiasaan sehari-hari mereka di lapangan dan menggali konflik yang biasa terjadi sehubungan dengan pelaksanaan budaya.
Ketika orang dari suku tersebut membaca cerpennya, diharap tidak ada keberatan bahkan emosi karena merasa tidak seperti itu budayanya. Jika mereka dengan mudah teringat kembali kisah yang pernah dialami sebagai anggota suku, cerpen budaya berhasil dituliskan.
Tertolong karena pengalaman
Adalah lebih mudah menuliskan cerpen budaya ketika pengarangnya merupakan anggota suku itu sendiri. Bisa pula, lahir di lokasi sekitar suku tinggal.Â
Faisal Oddang asli Sulawesi Selatan, sehingga ia lebih mudah menceritakan kebiasaan suku Toraja. Muna Masyari orang Pamekasan, Pulau Madura, tentu, ia lebih fasih mengungkap cerita seputar Madura.
Pengarang tertolong dengan pengalaman pribadinya, tinggal mengulas dan mengenang kebiasaan yang pernah dialami. Barangkali menjadi sebuah kebanggaan, berhasil mengangkat cerita budaya daerah sendiri ke kancah nasional.
Satu cerpen budaya saya
Saya tidak sekadar membaca cerpen budaya mereka, tetapi juga berupaya menulisnya. Ini bersumber dari pengalaman saya waktu kecil di Kabupaten Jepara, daerah kelahiran R.A. Kartini.
Ada kebiasaan unik dan selalu dilakukan setiap tahun untuk mengenang kepahlawanan Beliau, yaitu pawai Kartinian. Semua anak sekolah dari berbagai jenjang berkumpul, menggunakan pakaian adat, lantas melakukan pawai keliling kota, dari titik tertentu sampai titik tertentu, seharian.
Akhir kata...
Sudah sepantasnya cerpen bertema budaya dinilai memiliki keunggulan dibanding cerpen lain. Di samping lebih ada tantangan dalam menulisnya, cerpen telah mengangkat kebiasaan dan adat istiadat lokal ke ranah nasional.
Kita patut berbangga, budaya dikenalkan ke masyarakat luas. Lewat cerpen, peran pengarang secara langsung telah ikut dalam pelestarian budaya.
Kalau Anda pengarang, silakan menulis cerita budaya. Lestarikan budaya kita lewat cerita.
...
Jakarta,
18 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H