Saya percaya, dalam menulis cerpen bertema budaya, tidaklah mudah. Tidak sekadar mengandalkan imajinasi dan karangan di kepala. Pengarang harus melakukan riset untuk memastikan segala hal yang ditulis tidak menyalahi aturan serta menggambarkan benar peristiwa budaya itu.
Semisal, membaca literatur terkait atau berkunjung langsung ke lokasi tempat budaya diselenggarakan. Melakukan wawancara dengan masyarakat suku, tentu lebih baik. Mengamati kebiasaan sehari-hari mereka di lapangan dan menggali konflik yang biasa terjadi sehubungan dengan pelaksanaan budaya.
Ketika orang dari suku tersebut membaca cerpennya, diharap tidak ada keberatan bahkan emosi karena merasa tidak seperti itu budayanya. Jika mereka dengan mudah teringat kembali kisah yang pernah dialami sebagai anggota suku, cerpen budaya berhasil dituliskan.
Tertolong karena pengalaman
Adalah lebih mudah menuliskan cerpen budaya ketika pengarangnya merupakan anggota suku itu sendiri. Bisa pula, lahir di lokasi sekitar suku tinggal.Â
Faisal Oddang asli Sulawesi Selatan, sehingga ia lebih mudah menceritakan kebiasaan suku Toraja. Muna Masyari orang Pamekasan, Pulau Madura, tentu, ia lebih fasih mengungkap cerita seputar Madura.
Pengarang tertolong dengan pengalaman pribadinya, tinggal mengulas dan mengenang kebiasaan yang pernah dialami. Barangkali menjadi sebuah kebanggaan, berhasil mengangkat cerita budaya daerah sendiri ke kancah nasional.
Satu cerpen budaya saya
Saya tidak sekadar membaca cerpen budaya mereka, tetapi juga berupaya menulisnya. Ini bersumber dari pengalaman saya waktu kecil di Kabupaten Jepara, daerah kelahiran R.A. Kartini.
Ada kebiasaan unik dan selalu dilakukan setiap tahun untuk mengenang kepahlawanan Beliau, yaitu pawai Kartinian. Semua anak sekolah dari berbagai jenjang berkumpul, menggunakan pakaian adat, lantas melakukan pawai keliling kota, dari titik tertentu sampai titik tertentu, seharian.