Ada tumpukan beberapa kantung plastik hitam besar. Sebuah nota dengan ujung tertancap pada paku, tergeletak di meja. Salah satu lembarannya sobek, tertera tulisan berupa huruf dan angka atas nama seseorang. Kalkulator masih menyala, seperti baru saja tombolnya ditekan. Dua tiga mesin berbunyi, berderu-deru, memutarkan sesuatu. Tiba-tiba lelaki tua datang, melemparkan bungkusan.
"Sehari ya," katanya singkat. Setelah meletakkan bungkusan dan menerima selembar nota, lelaki itu kembali ke motornya, mencolokkan kunci, lantas menyalakannya dan segera pergi.
Perempuan paruh baya dengan rambut keriting panjangnya yang tergerai dan serba memutih lekas membuka bungkusan. Tangannya yang keriput -- penuh guratan-guratan waktu -- melepas karet gelang yang melilit di ujung bungkusan.Â
Seketika bau keringat dan sesuatu yang memuakkan menyeruak. Perempuan itu menutup hidung. Ada sesuatu dari dalam perut seperti memaksa naik ke kerongkongan. Ia menggosok dada. Dengan cepat, tangannya mengambil sebotol minyak kayu putih, lantas mengusapnya ke hidung.Â
Itulah, caranya menenangkan diri dan ia harus terima sebagai tantangannya bekerja, mencuci pakaian orang-orang. Siapa pun itu, yang sanggup membayar, harus ia layani dengan sebaik-baiknya.Â
Ia tidak pantas mengeluh dan barangkali berkata, "Bau sekali pakaian kotor Anda." Karena hanya dari penatu-lah, ia bisa menyambung hidup sekadar makan sehari-hari dan menabung cukup uang untuk sebuah keperluan terakhir yang entah akan ia lakukan kapan.
Perempuan itu terkenal sebagai seorang penatu terampil. Segala pakaian dengan berbagai noda, entah apa pun itu, selalu berhasil kembali seperti habis baru dibeli, bersih cemerlang dan harum baunya, dalam lempitan rapi yang terbungkus plastik putih tipis.Â
Selain terhitung cakap, ia juga memasang biaya jasa penatu yang terbilang lebih murah dibanding penatu-penatu di sekitarnya. Bila mereka memasang harga sembilan ribu per satu kilogram pakaian, perempuan itu bisa dua ribu lebih murah, tetapi kualitasnya tidak kalah baik.
Kalau dipikir-pikir, bukanlah sebuah ketidaksengajaan ia membangun usaha itu. Berbekal sisa tabungan di bank, ia membeli beberapa mesin cuci, lima lemari pakaian, setrika dan mejanya, alat pembungkus beserta peralatan lain, tidak lupa juga menyisihkan sebagian uang untuk membayar sewa atas sebuah ruangan berukuran empat kali empat meter persegi, tepat di tengah kompleks perumahan itu.
Perempuan itu biasa mencuci pakaian, menjemurnya, lantas menyetrika, sesudah itu melempit. Barangkali jika perempuan lain paling benci melakukan hal-hal ini -- karena sangat membutuhkan kesabaran, perempuan itu malah tidak bisa barang sehari saja tidak mencuci pakaian, terutama melempitnya.