Tidak ada mata yang tidak memandang gadis bertubuh sintal itu, ketika ia berjalan penuh percaya diri, berdiri dan melemparkan pandang ke depan, lantas memberi sedikit senyum seperti hendak menyapa banyak orang. Ia begitu yakin akan setiap penampilannya. Ia sungguh bergairah ketika semua mata di sekeliling tidak berhenti terpukau, menyaksikan kemolekan dan keindahan tubuhnya.
Orang-orang akan selalu datang berduyun-duyun, dengan sengaja menyediakan waktu mereka, menghabiskan menit demi menit, bahkan berjam-jam, menyiapkan kamera dan membuka mata lebar-lebar pada sebuah acara, lantas mengisi kursi-kursi kosong yang selalu saja ditambah oleh petugas dengan kursi cadangan, setelah tahu nama gadis itu muncul, terpampang, dan terdengar dari selebaran dan iklan yang bertebaran.
Siapalah perempuan yang tiada bersyukur melihat keadaan tubuhnya begitu hampir sempurna, bagaikan tiada perempuan yang tidak pernah mendamba untuk menjadi sepertinya.Â
Jika dilihat dari ujung rambut sampai batas kuku kaki, selalu saja pesona gadis berumur dua puluh tahun itu berhasil memikat tidak hanya mata para perempuan yang iri padanya, tetapi sudah barang tentu, kaum lelaki baik muda maupun yang sebentar lagi bau tanah, selalu bisa merasakan betapa nafsu itu selalu menyala ketika menyaksikan salah satu wanita tercantik -- barangkali ia paling cantik -- sedang melenggak-lenggokkan kakinya yang lurus dan jenjang, dengan busana yang terus cocok ia kenakan bagaimana pun bentuknya.
Di kota itu, tidaklah ada lelaki yang tidak tahu siapa sosok gadis itu. Setiap ia sedang bertugas waktu malam, memeragakan busana dalam ajang yang tentu tidak pernah sepi -- karena ada dia, para lelaki sudah antre berdiri di depan satu-satunya gedung hiburan di tengah kota, berdesak-desakan sekadar berupaya untuk membeli tiket, memuaskan keinginan mata mereka, melihat keelokan sang gadis pujaan.
Terkadang gadis itu merasa jijik melihat mata-mata yang memandangnya. Boleh jujur, di samping perasaan yang bahagia karena dianggap oleh mata-mata itu sebagai sebuah permata yang cantik parasnya dan mengilat sinarnya, masih saja ada mata genit para lelaki jalang yang ingin menggoda, tidak lain dan tidak bukan untuk menikmati tubuhnya.Â
Beberapa lelaki itu ada yang tertangkap meneteskan air liur. Sungguh menjijikkan! Ketika gadis itu berjalan di atas panggung, sengaja ia alihkan pandang ke mata-mata lain, yang masih bisa menghargainya sebagai seorang perempuan yang sedang bekerja untuk menyambung hidup.
Masa mudanya begitu cemerlang. Berkat keindahan tubuh yang terbilang pantas dan sangat pantas, bahkan memikat untuk ukuran seorang peraga busana, para perancang busana terus saja mempekerjakannya.
Gadis itu selalu berhasil membuat busana yang dikenakannya sebagai sebuah penemuan baru yang layak dinanti-nanti untuk dipakai banyak orang, mendesak para wanita menjadi tidak tahan menghabiskan uang dari dompet, setelah tersihir olehnya.
Ya, busana yang baru dikreasikan dan diperagakan pada malam itu, dalam sekejap harus disediakan dalam jumlah banyak, setelah mengetahui permintaan yang meningkat drastis keesokan harinya.
Itulah keadaannya dulu. Ia memang mengalami masa jaya, tetapi masa jaya tidak bisa bertahan selamanya. Ada kala orang di atas angin sehingga banyak yang melihat, ada pula orang di dalam tanah, tidak ada satu pun tahu.
Perempuan itu tidak sanggup melawan perputaran waktu dan perpindahan ruang. Badannya yang gemulai ketika berjalan, pipinya yang tirus, hidungnya yang mancung, kulitnya yang begitu kencang, dadanya yang kecil tetapi berisi, adalah tinggal sebuah bayangan yang selalu saja disesalinya ketika ia menatap sebuah cermin dalam kamar.
Ia memandang pipi itu sedikit gemuk. Ada goresan-goresan tua di sekitar. Beberapa lapisan kulit pada bagian tangan dan kaki sudah mulai jatuh, bahkan bergelambir di perut. Masa tua sungguh sulit ia terima, tetapi mau tidak mau akan datang jua.
Semenjak tubuhnya berubah perlahan, tentu, siapalah orang yang mau mempekerjakan? Gadis-gadis baru yang jauh lebih elok lebih layak menggantikan. Barangkali tidak ada mata-mata yang tertarik lagi untuk memandangnya. Busana demi busana bisa saja tidak laku. Keuntungan pengelola gedung dari penjualan tiket semakin kabur.
Ia terduduk lesu. Tidak ada lagi semangat hidup. Masa tua memang penuh tantangan, barang sekadar mengumpulkan gairah, sangat gampang redup. Waktu semakin cepat berlalu.
Karena tidak ingin stres lama-lama, ia mulai mencari kesenangan dengan makan apa saja. Ia tidak lagi menghitung kalori dalam setiap masakan. Ia tidak lagi memilih dan memilah makanan yang sedikit lemak. Diet sehat pun hanya jadi wacana. Makanan cepat saji -- sering kali enak -- disantap membabi buta.
Ia lepaskan gundah dengan terus dan terus makan. Badannya bertambah besar, terus melebar. Matanya perlahan menyipit, tertekan lemak-lemak pipi yang menggerumbul. Dadanya tidak lagi menonjol, karena hampir sama dengan gumpalan daging yang terus menumpuk di sekitarnya.
Sempat ia rasa bahagia. Betapa makanan-makanan itu sungguh menghilangkan duka. Seiring dengan bertambahnya berat badan, ia mulai malas bergerak. Keluar dari kamar jika bukan karena teman yang mengajak, barangkali orang-orang tidak akan pernah melihatnya.
Suatu siang, seorang teman dari luar kota mengajaknya makan. Setelah bersiap dan merapikan diri, ia menuju pintu dan keluar dari rumah, mengendarai mobil ke tempat perjanjian.
Barangkali teman itu karena sudah lama tidak bertemu, ia kaget. Betapa perempuan yang di depan matanya, duduk sambil mengunyah ayam goreng, telah berubah menjadi hampir tidak dikenalinya. Beberapa lelaki yang dulu sempat memuja perempuan itu pun tidak tahu, bahwa ia adalah gadis peraga busana tercantik pada masanya.
Mereka berdua duduk di tengah rumah makan. Tidak ada satu pun lelaki memandang perempuan itu. Entah kenapa, perempuan itu tiba-tiba mengingat kembali masa jayanya. Melamunkan lagi tubuhnya yang begitu menggoda. Melihat sebentar sekujur tubuhnya sekarang. Seperti tidak sadar, ia tiba-tiba menyesal. Ke mana ia yang dulu?
Kau sekarang kok gendutan, begitu temannya menyapa. Perempuan itu tertegun. Ia terdiam. Ayam goreng di tangan terjatuh. Matanya menatap tajam mata temannya. Mata itu mulai membesar. Seperti ada belati yang hendak keluar dari bola matanya.
Temannya mendeham. Ia merasa bersalah dan sebentar lagi barangkali kena marah. Perempuan itu membuang napas panjang, mengembuskan kencang, seperti memberi pertanda bahwa ia tidak suka dibilang gendut.
Perempuan itu berdiri dari kursi. Ia berjalan menuju parkiran, meninggalkan begitu saja temannya yang gemetar dan tidak mampu berkata apa-apa. Barangkali karena terlalu lama mengurung diri dalam kamar, perempuan itu sudahlah sulit diajak bercanda. Bahkan oleh teman sendiri. Atau memang, masalah penampilan tubuh tidak layak untuk dicandakan?
Seusai mendapat ejekan gendut dari temannya, ia sekarang kerap mengenakan kacamata hitam ketika keluar rumah. Ia tidak suka melihat tatapan orang yang meremehkan tubuhnya. Ia pun tidak percaya diri lagi melihat keadaan tubuhnya. Ia seperti tidak ingin melihat siapa-siapa dan tidak ingin terlihat marah ketika menatap mata-mata orang yang menganggapnya gendut.
Ya, gumpalan lemak itu sudah menghambur di sekujur badan. Barangkali, di balik kacamata hitamnya, matanya terus saja melempar belati ke arah orang-orang yang mengejek. Barangkali pula, matanya sudah tidak ada lagi karena tercabut oleh belati. Ia sudah tidak sanggup menerima keadaan dirinya.
...
Jakarta
14 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H