Kau sekarang kok gendutan, begitu temannya menyapa. Perempuan itu tertegun. Ia terdiam. Ayam goreng di tangan terjatuh. Matanya menatap tajam mata temannya. Mata itu mulai membesar. Seperti ada belati yang hendak keluar dari bola matanya.
Temannya mendeham. Ia merasa bersalah dan sebentar lagi barangkali kena marah. Perempuan itu membuang napas panjang, mengembuskan kencang, seperti memberi pertanda bahwa ia tidak suka dibilang gendut.
Perempuan itu berdiri dari kursi. Ia berjalan menuju parkiran, meninggalkan begitu saja temannya yang gemetar dan tidak mampu berkata apa-apa. Barangkali karena terlalu lama mengurung diri dalam kamar, perempuan itu sudahlah sulit diajak bercanda. Bahkan oleh teman sendiri. Atau memang, masalah penampilan tubuh tidak layak untuk dicandakan?
Seusai mendapat ejekan gendut dari temannya, ia sekarang kerap mengenakan kacamata hitam ketika keluar rumah. Ia tidak suka melihat tatapan orang yang meremehkan tubuhnya. Ia pun tidak percaya diri lagi melihat keadaan tubuhnya. Ia seperti tidak ingin melihat siapa-siapa dan tidak ingin terlihat marah ketika menatap mata-mata orang yang menganggapnya gendut.
Ya, gumpalan lemak itu sudah menghambur di sekujur badan. Barangkali, di balik kacamata hitamnya, matanya terus saja melempar belati ke arah orang-orang yang mengejek. Barangkali pula, matanya sudah tidak ada lagi karena tercabut oleh belati. Ia sudah tidak sanggup menerima keadaan dirinya.
...
Jakarta
14 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H