Selama hidup, manusia pasti tidak lepas dari masalah. Beragam cara menanggapi: mencari solusi, melarikan diri darinya, atau hanya menerima, mendiamkan, dan membiarkan waktu saja yang menjawab. Tentu, kebuntuan menulis bisa disebut salah satu masalah krusial dalam menulis yang juga perlu dicarikan solusinya.
Siapa para Kompasianer yang tidak pernah mengalami kebuntuan menulis? Istilah kerennya writer's block. Menurut Wikipedia, kebuntuan menulis:
Sebuah keadaan ketika penulis merasa kehilangan kemampuan menulis atau tidak menemukan gagasan baru untuk tulisannya. Dijelaskan lebih lanjut, kehilangan kemampuan menulis dan membuat karya tulis baru tidaklah disebabkan oleh masalah komitmen atau kecakapan menulis.
Saya pernah merasakan. Ketika tangan telah membuka dan menyalakan laptop, kaki sudah duduk rapat di atas kursi, mata sedang fokus menatap layar, tidak ada yang tertulis sama sekali.
Ide hilang begitu saja. Waktu terbuang sia-sia. Bisa itu berlama-lama di depan laptop, hanya memandang layarnya. Tangan tidak bekerja sama dengan otak dalam menghasilkan tulisan.
Kebuntuan menulis dapat terjadi...
Menurut saya, kebuntuan menulis dapat lebih cepat terjadi pada penulis yang fokus atas genre tulisan tertentu. Semisal, fiksi berupa puisi atau cerpen. Fokus di sini berarti hanya genre itu yang ditulisnya, semakin sering, menguasai, bahkan bisa ternilai mahir.
Saya sendiri menulis di Kompasiana terhitung 16 Mei 2020, sudah ada 509 hari sampai sekarang. Bersama tulisan ini, ada 707 tulisan. Berarti, saya mampu menulis sehari satu artikel.
Sekilas saya seperti tidak mengalami kebuntuan menulis. Tetapi, masalah itu di tengah jalan saya alami. Jujur, saya pernah buntu menulis cerpen.Â
Seiring dengan kesukaan menulis dan semakin bertambahnya cerpen dengan materi yang juga semakin beragam, suatu ketika saya kehabisan ide. Ilustrasi di atas terjadi.
Panik tidak?
"Paniklah, panik, masa tidak?" gumam saya saat itu. Terbayang sejenak, bagaimana kemampuan mengarang saya lambat laun akan berkurang dan tidak terasah jika tidak lagi menulis cerpen.
Sudah hal umum terjadi, di mana tidak menulis kemungkinan menghilangkan kemampuan menulis. Kepanikan itu tidak kunjung teratasi, karena memang habis ide di kepala untuk mengarang.
Barangkali teman-teman yang fokus juga di genre tertentu mengalami. Kejenuhan pun bisa memicunya. Melihat tulisan yang bergaya seperti itu-itu saja, siapakah yang tidak bosan?
Menerima kebuntuan menulis sebagai bagian alamiah dunia kepenulisan
Sempat saya berpikir bahwa kebuntuan menulis dialami siapa saja yang menulis. Baik yang berprofesi sebagai penulis maupun yang hanya suka menulis.
Tentu, untuk yang berprofesi, lebih cepat harus diatasi, karena menyangkut sumber pendapatan. Sementara yang hobi, relatif sebetulnya, kembali ke tiap-tiap penulis.
Kejenuhan menulis juga pasti pernah terjadi. Itu alami. Kehabisan ide pun alami. Otak tidak selamanya bisa berpikir jernih untuk mengarang.Â
Keadaan di sekitar yang menuntut perhatian lebih sampai-sampai mengganggu konsentrasi menulis tidak bisa diabaikan. Tidak hanya menulis yang kita lakukan selama hidup. Masih ada urusan lain yang perlu diselesaikan.
Mengapakah kita tidak menerima kebuntuan menulis sebagai hal alamiah pula? Tidak perlu khawatir bila sedang terjadi. Jadikan saja sebagai bagian dari siklus menulis.
Orang lain tetap menulis, kita tidak perlu risau. Mereka bisa rutin, kita tidak, pun tidak masalah. Memang, kita sedang buntu menulis. Semakin dipikir malah tambah stres.
Kejadian saya
Saya banting setir ketika buntu mengarang. Saya menulis opini sembarang kelir, cerita apa saja pengalaman pribadi, sampai tidak tentu arah. Semua kanal saya libas. Karya cerpen nol besar.
Opini saya tentu tidak sekeren cerpen, karena saya tidak biasa menulisnya. Paling ulasan di permukaan dan pandangan seorang awam.
Saya juga memilih untuk membaca lebih banyak guna mencari ide. Membuka Kompasiana hanya untuk membaca, tanpa menulis. Saya alihkan pula kegiatan dengan melakukan kegemaran lain yang membuat saya senang.
Saya biarkan tidak produktif menulis cerpen. Bodoh amat dengan rasa ketakutan dan kehilangan kemampuan mengarang. Saya memang sedang buntu. Jenuh bahkan.
Semakin ke sini...
Saya kembali lagi mengarang cerpen. Justru karena berhenti sejenak menulis yang kita sukai dan rutinkan, terkadang ide yang timbul malah ternilai baru ketika akan memulai lagi.
Pikiran terasa lebih segar. Kita secara tidak langsung telah melupakan perlahan apa-apa yang pernah kita tulis. Kita tidak terbatasi oleh dinding-dinding ide masa lalu. Otak kini bisa berpikir lebih terbuka, bebas, dan bahkan berimajinasi lebih luas.
Akhir kata...
Saya pastikan Anda -- jika penulis -- juga mengalami kebuntuan menulis. Barangkali untuk yang baru pertama kali terjun menulis, masih belum terasa, karena cinta pertama masih membara dan banyak ide.
Semakin ke tengah perjalanan, jika buntu menulis timbul, tidak perlu cemas. Tidak perlu khawatir. Biarkan saja dan jadikan sebagai bagian alamiah dunia kepenulisan.
Semua penulis pasti mengalami. Silakan kita liburan sejenak. Alihkan perhatian dengan hal lain. Stres malah hanya membebani otak sehingga tidak bisa berpikir bebas. Yang ada, ide semakin buntu.
...
Jakarta
6 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H