Untuk membentuk tokoh ibu, pun begitu. Bagaimana cara ibu merawat, membesarkan, berbuat yang terbaik sampai rela mengorbankan dirinya untuk anak, harus diamati benar. Bagaimana sikap anak sebagai balasan kepada ibunya, tidak lepas pula dipikirkan untuk membentuk cerita.
MembayangkanÂ
Setelah proses berpikir usai, cerpen masuk dalam proses pembayangan. Imajinasi ditekankan di sini. Perilaku sedetail mungkin sebaiknya dijelaskan sedetail pula agar peristiwa jadi runut.
Rekaman hasil pengamatan bisa membantu. Pengarang membayangkan dalam pikiran, kira-kira apa urutan peristiwanya. Semisal, hasil pikiran adalah konsep cerita tentang seseorang yang sedang menyeduh teh. Barangkali bayangannya:
Wanita itu berjalan ke dapur. Ia mengambil sebuah teko, lantas menyalakan keran air. Ia membuka penutup teko dan mengisinya sebatas seperempat volume. Setelah menutup teko rapat-rapat, ia letakkan di atas kompor. Tangan kanannya memutar knop. Ia mengatur api kompor sedikit kecil.
Kakinya beranjak mendekati lemari. Tangan kirinya membuka kaca lemari dan mengambil sebuah teh celup dari dalam kemasan. Ia menyiapkan cangkir, memberikan sesendok gula pasir, dan menaruh teh celup itu di dasarnya. Beberapa saat seusai air dalam teko mendidih, ia menuangkannya ke dalam cangkir.
Kegiatan menyeduh teh dapat diolah dalam imajinasi. Selanjutnya, kita tinggal memilih kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya.
MerasakanÂ
Agar cerpen tambah hidup, hakikat ketiga harus disertakan. Di sinilah, pengarang dan pembaca menggunakan perasaan sebaik-baiknya. Semakin sering menikmati cerpen, semakin sering pula perasaan gampang peka.
Kata-kata dalam imajinasi di atas sudah hidup. Merupakan peristiwa yang bisa dinikmati. Semakin hidup dan terasa lebih kuat, jika dilengkapi dengan perasaan. Barangkali:
Wanita itu tersenyum melihat teh yang sedang diaduknya. Kepulan uap yang mengandung aroma wangi bunga Melati dari teh sungguh menyegarkan pikirannya.