Seberapa sering Anda menikmati cerpen, baik lewat membaca maupun mendengar rekaman di media sosial? Sejauh mana Anda suka bahkan mungkin fanatik terhadap pengarang tertentu sampai setia menunggu karya berikutnya? Apakah yang Anda harap dan telah dapatkan seusai membaca cerpen?
Barangkali Anda sepakat dengan pemahaman saya bahwa jika seseorang telah meluangkan waktu untuk membaca, besar inginnya beroleh sesuatu dari bacaannya.Â
Kalau cerpen, bisa terpukau karena alur cerita. Bisa terdidik karena pesan moral. Bisa belajar bahasa Indonesia karena kosakata baru. Bisa terinspirasi pula sehingga ikut mengarang cerpen.
Sejauh pengalaman saya mengarang dan membaca cerpen, secara keseluruhan, hanya ada tiga hakikat cara dalam memaksimalkan kenikmatan cerpen:
BerpikirÂ
Cerpen sebagai salah satu karya fiksi tentu berbeda dengan karya ilmiah dalam beberapa hal. Beberapa lagi sama, di antaranya harus mematuhi kaidah penulisan dan penyajian yang masuk akal.
Ada penggunaan hukum kausalitas dalam menulis cerpen. Seseorang bisa berperilaku sesuatu, penyebabnya apa, dan dampaknya bagaimana. Pengarang dan pembaca menciptakan dan menemukan itu dalam setiap bagian cerpen.
Kausalitas dalam cerpen semakin diperluas dengan akibat yang bisa saja tidak masuk akal. Ini karena dunia cerpen meliputi fantasi dalam imajinasi, berbeda dengan karya ilmiah yang benar-benar harus masuk akal di dunia nyata.
Pengarang harus berpikir dalam menulis cerpen. Pembaca pun berpikir untuk mengerti sebaik-baiknya pikiran pengarang. Hasil pikiran itu ada yang berasal dari penelitian atau pengamatan objektif, yang juga dilakukan para peneliti ketika menulis karya ilmiah.
Riset perlu dilakukan agar sebagian cerpen dapat dinikmati pembaca sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi di dunia. Semisal, pengarang ingin mengarang tokoh profesor. Pengamatan perlu dilakukan atas kebiasaannya: mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti, dan seterusnya, semata-mata untuk menguatkan penokohan profesor.