Konflik utama
"Kita harus dapat anak bujang, Dik," itulah kata-kata Mang Isa pada Bi Mar. "Apa kata orang se-Tanah Abang bila jurai limas kita tak tertegak lantaran kita hanya melahirkan anak-anak perawan saja?"
Konflik utama hampir sama dengan kejadian nyata di beberapa suku yang memandang anak lelaki lebih berharga daripada perempuan. Jika belum ada anak lelaki, orangtua akan terus melahirkan -- seberapa pun banyak anak perempuan -- sampai akhirnya mendapat.
Boleh jadi penulis mengangkat kisah seseorang dalam kehidupan nyata ke cerpen. Bi Mar sudah punya anak sebanyak 14 orang, seluruhnya perempuan. Terakhir melahirkan dua tahun silam.
Tentu, sebagai seorang perempuan, ia merasakan keresahan dan mengalami konflik batin untuk memuaskan keinginan suami dan menjaga martabat keluarga.
Konflik penguat pertama
... Nasib malang bukan lantaran Mak Salit bukan seorang perempuan mandul yang tak punya anak. Anaknya banyak, hampir mencapai sepuluh orang. Sayangnya, semua perawan dan telah mengikuti laki-lakinya di dusun-dusun tetangga...
Selanjutnya, konflik utama dikuatkan dengan konflik lain. Ada ketakutan yang timbul dari Bi Mar pada masa tua, jika nanti benar-benar tidak punya anak lelaki.
Seperti kisah tetangganya, anak-anak perempuan diboyong semua oleh suaminya ke rumah pribadi. Tidak ada yang tinggal dan menjaga Mak Salit (tetangganya itu).