Imajinasi pengarang dipengaruhi oleh standar kesukaan pembaca. Semisal, cerpen dengan akhir cerita bahagia lebih banyak disukai. Lalu, agar tetap bahkan semakin disukai, cerpen yang dituliskan semuanya sama, berakhir bahagia.
Tidak ada barang satu kesedihan. Pikiran pengarang seperti telah dibatasi oleh kemauan pembaca. Sampai di sini, pengarang bisa terjebak dalam kebosanan.Â
Padahal, pengarang perlu meragamkan cerpennya supaya lebih segar pikiran. Tahu sendiri, jika itu-itu saja pasti cepat jenuh. Pengarang pun terancam tidak berkembang kemampuan mengarangnya.
Cerpen pun sesekali bermanfaat melepaskan emosi
Pada sisi lain, cerpen bermanfaat untuk melepaskan emosi pengarang. Meskipun ia tidak secara langsung bercerita sebagai dirinya, ada perilaku dan perasaan tokoh yang mewakili dirinya.
Emosi yang tidak bisa diungkapkan di dunia nyata dengan luas dibebaskan dalam cerpen. Pemakaian kata-kata tidak sopan pun diperbolehkan sebagai bentuk luapan amarah. Biasanya dinyatakan sebagai reaksi dari tokoh jahat.
Jika perasaan kesedihan lebih mendominasi pengarang, sementara ia harus membuat cerita bahagia demi memuaskan pembaca, alangkah berat beban si pengarang.
Kendati cerpen berhasil dan selesai, pasti penyampaian rasa bahagia tidak maksimal. Ada kata-kata mengandung kesedihan yang sedikit banyak bercampur dalam cerpen.
Pengarang pun tidak sedang berkompetisi
Selain untuk mengikuti lomba, pengarang dalam mengarang tidak sedang berkompetisi. Tidak ada yang sedang minta dipuaskan. Meskipun diharap semakin baik dari hari ke hari kemampuan mengarangnya, pengarang tidak sedang menciptakan cerpen untuk dinilai juri atau pembaca.
Di Kompasiana, saya menganggap semua pengarang sedang memberikan dan meramaikan kanal fiksi khususnya cerpen dengan karya masing-masing. Semua punya ciri khas. Bagi yang hobi, bisa sehari pasti mengarang cerpen.