Minah sekarang menangis di dalam kamar. Suara isaknya terdengar kencang. Ia tentu ingin sekali ikut pawai. Ia ingin sekali bertemu teman-temannya dari seluruh sekolah. Aku pun tidak kalah ingin membuatnya senang. Tetapi, apa daya?
Masakkah aku harus memakai dulu uang obat untuk ibu? Bagaimana nanti pengobatan ibu? Tidak mungkin pula aku tidak bayar kontrakan. Bisa diusir kami dari rumah ini.
Aku kembali memandang foto di album itu. Aku melihat wajah ibuku yang senang melihatku bergaya di depan cermin. Aku melihat ibuku tersenyum seusai aku berdandan.Â
Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin lihat anakku sepertiku di foto itu. Air mataku mengalir. Aku tidak kuasa membohongi kesedihan ini. Aku tidak mampu memberikan senyum palsu lagi.
Tiba-tiba suamiku terbangun setelah tidur seharian. Ia mendekat.
"Kenapa, dek?" tanyanya. Tangannya membelai pundakku.Â
"Minah, Mas. Minah."
"Oh, soal pawai itu?"
Aku menunduk. Ia terdiam. Malam itu, hening sekali. Suara tangis Minah bertambah jelas. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi besok. Aku meletakkan kepalaku di bahu suamiku. Terdengar suara telepon berdering.
Kini aku kembali membuka album itu. Aku mencari bingkai-bingkai plastik yang masih kosong, lantas memasukkan beberapa foto baru di dalamnya.
Di sana, tampak Minah sedang tersenyum bahagia. Aku melihatnya cantik sekali memakai kebaya hitam itu. Ia berjalan dengan anggun, melenggak-lenggokkan tubuhnya, memakai mahkota kuningan yang begitu mengilat dan sesekali melemparkan senyum kepadaku.