Apalagi, ketiga anaknya yang kecil-kecil masih butuh nasi. Masih butuh uang untuk sekolah. Bukan butuh ucapan tanpa perhatian.
"Ibu mau ke mana?" tanya anaknya yang sudah kelas lima sekolah dasar, sesaat sebelum wanita itu mengenakan kosmetik. Ia mendapati wajah ibunya pucat pasi. Matanya layu, sorotnya mengabur. Langkahnya terhuyung seperti hampir jatuh.
"Kerjalah, Nak," jawab wanita itu pelan.
"Tapi, ibu kan sakit. Tidak bisa memang, minta izin sama bos?"
Wanita itu mengaku bekerja sebagai penjaga sebuah kafe.
"Nanti kalau ibu tidak kerja, kamu mau makan apa?"
Anak itu terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca seperti kasihan pada ibunya yang harus membanting tulang sendirian, sejak bapak keparatnya pergi begitu saja entah ke mana.
Seorang berandalan berhenti di depan wanita itu. Ia masih duduk di atas motor gede. Rambutnya yang panjang berombak tersibak angin.
"Naik!" berandalan memberi isyarat agar wanita itu lekas membonceng.
"Berapa?"
Berandalan itu menunjukkan kode seperti angka dengan tangan. Wanita itu mengangguk. Dengan cepat, ia duduk di belakang. Ia merapatkan kedua kaki. Tangan kanannya memegang pundak berandalan. Mereka melaju kencang, meninggalkan balapan motor yang semakin ramai menjelang subuh.