Janganlah sengaja berjalan melewati kuburan ketika malam, saat hari itu seorang mayat baru selesai dikebumikan. Tentu, bau-bau bunga Melati yang tertabur di tanah masih menyengat. Aroma tanah basah yang tersiram air oleh para pelayat masih menguar.
Tentu pula, roh orang yang meninggal masih tinggal di sekitar. Ia akan keluar dari dalam tanah, mengenakan kain kafan yang masih terbungkus, lantas melompat-lompat, dan bila sial, kau akan bertemu dengannya.
Begitulah kata kakek bertahun-tahun silam. Bulu kuduk saya merinding. Apalagi ia bercerita juga saat malam hari, waktu lampu ruang tamu sudah dipadamkan, bapak dan ibu sudah tidur, tinggal saya dan kakek di ruang tengah.
Saya memang suka mendengar kakek bercerita. Ia pandai menghidupkan cerita-cerita khayalan seolah-olah memang nyata terjadi, bahkan tokohnya pun seringkali terbawa dalam mimpi saya. Entah, mengapa saat itu kakek malah bercerita soal kuburan.
Layaknya cerita-cerita sebelumnya, ia berhasil menanamkan baik ingatan mengerikan dalam pikiran saya. Bagaimana tanah-tanah kuburan itu terserak, tangan kanan mayat itu tiba-tiba menerobos keluar, perlahan dan semakin cepat, mayat itu naik ke permukaan. Kulit dan dagingnya koyak di sana-sini, sudah digerogoti ulat. Kedua bola matanya hilang.
Ia akan berjalan dan mencari orang-orang yang lewat di depan kuburannya, menakuti secara tiba-tiba dari balik pohon yang gelap, lantas menimbulkan suara-suara menyeramkan. Terkadang tertawa, menangis terisak-isak, bahkan hanya seperti embusan angin yang tiba-tiba kencang begitu saja, seperti pertanda ada seseorang yang baru lewat.
Sejak saat itu, saya paling tidak berani berjalan lewat kuburan sendirian. Meskipun saya harus melewati kuburan sepulang sekolah -- karena tidak ada lagi jalan lain -- saya akan berlari secepat kilat -- meskipun itu siang -- menahan napas sekuat-kuatnya dan tanpa menoleh ke kanan kiri.Â
Saya paling tidak mau pula diajak bapak atau ibu melayat ke kuburan. Saya selalu mencari alasan, entah sakitlah, entah banyak tugaslah, dan entah-entah lain, yang akhir-akhir ini bapak dan ibu mengerti bahwa itu hanyalah sebagai pembenaran atas ketakutan saya akan cerita kakek.
"Jangan terlalu percaya omongan kakek! Kakek itu cuma menakutimu supaya jangan keluar malam-malam," jelas bapak sembari sedikit tersenyum. Iya, ia memang bisa tersenyum, karena tidak langsung dengar bagaimana kakek bercerita.
"Jadi, mau ikut tidak?" tanya ibu seraya membereskan beberapa potong pakaian dalam koper.Â
"Kalau jadi, biar bapak belikan tiketmu!"
Saya bimbang. Ikut tidak ya, ikut tidak ya. Tetapi, ini ke kuburan. Melihat tanah-tanah makam. Mencium aroma bunga Melati bertebaran. Menyaksikan batu-batu nisan dengan tulisan orang mati.
Saya bingung. Apakah saya harus mencoba memberanikan diri barang kali ini saja? Bukankah nanti tangan itu tiba-tiba keluar dari makam? Bagaimana kalau saya bertemu dengan mayat yang berjalan-jalan? Saya pasti tidak bisa tidur.
Sialnya, ini kakek yang meninggal. Ia mendadak terkapar karena sakit jantungnya kumat.Â
Kakek, orang yang ikut mengasuh saya sedari kecil. Sosok yang selalu memberi uang jajan tambahan waktu ke sekolah. Mau tidak mau, sepertinya saya harus datang. Dikira cucu durhaka nanti.Â
"Di, ikut tidak?" ibu bertanya lagi. Kali ini suaranya sedikit keras.
Saya mengangguk. Tentu, dengan sedikit terpaksa. Ada ragu dalam batin saya, bagaimana nanti malam selepas pemakaman? Semoga saja cerita kakek hanya bualan.
Setelah saya mengiyakan, bapak langsung mengambil ponsel, berbicara dengan seseorang, seperti memesan tiket. Ya, rumah kakek memang jauh, beda pulau dengan rumah kami, tetapi bila menggunakan pesawat, hanya satu jam perjalanan.Â
Sampai di bandara, kami masih harus menggunakan mobil sewaan selama tiga jam. Rumah kakek terlalu pelosok. Saya baru pertama kali ke sana. Kakek sudah berkali-kali ke rumah kami di kota.
Pada hari yang sama, waktu matahari masih segar bugar melintasi langit, awan-awan pun seakan enggan hadir barang segumpal, kami sudah sampai di bandara. Â
Dari bandara ke rumah kakek, saya melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Sawah-sawah dengan padi yang menghijau sangat menyegarkan, terbentang luas di kanan kiri. Bukit-bukit dipenuhi pohon-pohon karet dan perdu cemara berjajar seperti menyambut kami.Â
Perhatian saya tersita beberapa menit, melihat air terjun yang turun begitu deras, membelah sungai kecil di bawahnya. Beberapa orang duduk di batu-batu di sekitar sambil memancing. Pemandangan yang sulit didapatkan di kota besar. Saya membuka jendela mobil.
"Pak, bagus sekali pemandangan ke rumah kakek ya," spontan saya berceloteh.
"Untung kan kamu ikut," jawab bapak.Â
Namun, anehnya, saya tidak melihat kuburan sama sekali. Bukankah setiap desa minimal ada kompleks kuburannya? Di mana nanti kakek akan dimakamkan? Ke mana kami pergi menguburkannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu bersama kekaguman akan alam tanpa terasa telah mengantarkan saya ke rumah kakek. Waktu berjalan begitu cepat. Kami telah sampai di depan pagar.
Sudah ada orang-orang berbaju hitam berkerumun. Banyak sekali, seperti banyak yang kehilangan kakek. Saya tidak heran, kakek memang orang baik. Pasti banyak warga di sini yang datang karena tersentuh dengan perbuatan baiknya.
Kami turun dari mobil. Saya berjalan di belakang bapak. Ibu sudah duluan masuk. Di ruang tengah, jenazah kakek terbaring dalam keranda.
Meskipun sudah dimandikan dan dirias begitu rupa, wajah kakek masih kuyu. Kulit tangannya penuh keriput. Giginya yang ompong terlihat sedikit, karena mulutnya terlalu kaku untuk dirapatkan. Terdengar isak tangis dari para warga. Beberapa melantunkan doa, berharap kakek ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya.
Air mata saya tidak terkendali. Saya mengambil sehelai tisu. Saya berbalik badan dan menyekanya. Dada saya menghangat. Ada perasaan bergemuruh, ketika melihat kakek terbaring tak berdaya.
Seperti itukah saya nanti ketika sudah meninggal? Apa yang bisa saya lakukan dengan tubuh tak bergerak itu? Mengapa saya masih menyia-nyiakan hidup selama masih bisa melakukan ini dan itu?
"Baru datang?" tanya paman yang tiba-tiba keluar dari dapur. Saya menyalami paman seusai bapak dan ibu.
"Nanti malam kita makamkan Bapak," lanjutnya lagi. Matanya sembap. Sepertinya paman juga sangat kehilangan.
Matahari sudah menghilang dari cakrawala. Bulan perlahan keluar dengan sinarnya yang begitu terang. Bintang-bintang berkerlap- kerlip, menambah indahnya malam. Mereka seperti mengalihkan sejenak ketakutan saya dan memberi semangat untuk melihat pemakaman kakek.
Empat orang penggotong keranda sudah bersiap. Jenazah kakek diangkat, diiringi isak tangis dan doa-doa. Saya mengikuti rombongan dari belakang. Hendak dibawa ke kuburan mana ini, batin saya.
Setelah keluar pintu rumah, mereka berbelok. Mengitari rumah dan berhenti di halaman belakang. Di sana, sudah ada sebuah lubang tergali. Saya lihat, ada satu makam yang baru selesai disiram. Tanah-tanahnya masih basah.
"Kakek dikubur di sini, Pak?" tanya saya ke Bapak. Saya kaget.
Bapak mengangguk.Â
Yang benar saja, masak dikubur di belakang rumah? Bukankah masih banyak tanah di luar sana? Saya mengernyitkan dahi.
"Di sini, sudah biasa kuburan di halaman belakang," kata ibu seperti mengerti saya sedang bertanya-tanya. Pantasan, tidak ada makam saya lihat sepanjang perjalanan.
Pikiran saya langsung melayang-layang ke sebuah kamar di bagian paling belakang rumah kakek. Karena kehabisan tiket pulang, kami harus menginap satu malam.Â
Kata ibu, nanti saya tidur di kamar itu. Kamar itu punya satu jendela menghadap ke halaman belakang. Tepat dan sangat bisa melihat petakan tanah di mana kakek dikubur. Di mana bunga Melati masih bertebaran. Di mana aroma tanah basah begitu menyengat.
"Kakek jangan bangun ya nanti malam," bisik saya pelan seusai menabur bunga Melati di atas makamnya. Tubuh saya gemetar.
...
Jakarta
5 September 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H