"Kalau jadi, biar bapak belikan tiketmu!"
Saya bimbang. Ikut tidak ya, ikut tidak ya. Tetapi, ini ke kuburan. Melihat tanah-tanah makam. Mencium aroma bunga Melati bertebaran. Menyaksikan batu-batu nisan dengan tulisan orang mati.
Saya bingung. Apakah saya harus mencoba memberanikan diri barang kali ini saja? Bukankah nanti tangan itu tiba-tiba keluar dari makam? Bagaimana kalau saya bertemu dengan mayat yang berjalan-jalan? Saya pasti tidak bisa tidur.
Sialnya, ini kakek yang meninggal. Ia mendadak terkapar karena sakit jantungnya kumat.Â
Kakek, orang yang ikut mengasuh saya sedari kecil. Sosok yang selalu memberi uang jajan tambahan waktu ke sekolah. Mau tidak mau, sepertinya saya harus datang. Dikira cucu durhaka nanti.Â
"Di, ikut tidak?" ibu bertanya lagi. Kali ini suaranya sedikit keras.
Saya mengangguk. Tentu, dengan sedikit terpaksa. Ada ragu dalam batin saya, bagaimana nanti malam selepas pemakaman? Semoga saja cerita kakek hanya bualan.
Setelah saya mengiyakan, bapak langsung mengambil ponsel, berbicara dengan seseorang, seperti memesan tiket. Ya, rumah kakek memang jauh, beda pulau dengan rumah kami, tetapi bila menggunakan pesawat, hanya satu jam perjalanan.Â
Sampai di bandara, kami masih harus menggunakan mobil sewaan selama tiga jam. Rumah kakek terlalu pelosok. Saya baru pertama kali ke sana. Kakek sudah berkali-kali ke rumah kami di kota.
Pada hari yang sama, waktu matahari masih segar bugar melintasi langit, awan-awan pun seakan enggan hadir barang segumpal, kami sudah sampai di bandara. Â