"Baru datang?" tanya paman yang tiba-tiba keluar dari dapur. Saya menyalami paman seusai bapak dan ibu.
"Nanti malam kita makamkan Bapak," lanjutnya lagi. Matanya sembap. Sepertinya paman juga sangat kehilangan.
Matahari sudah menghilang dari cakrawala. Bulan perlahan keluar dengan sinarnya yang begitu terang. Bintang-bintang berkerlap- kerlip, menambah indahnya malam. Mereka seperti mengalihkan sejenak ketakutan saya dan memberi semangat untuk melihat pemakaman kakek.
Empat orang penggotong keranda sudah bersiap. Jenazah kakek diangkat, diiringi isak tangis dan doa-doa. Saya mengikuti rombongan dari belakang. Hendak dibawa ke kuburan mana ini, batin saya.
Setelah keluar pintu rumah, mereka berbelok. Mengitari rumah dan berhenti di halaman belakang. Di sana, sudah ada sebuah lubang tergali. Saya lihat, ada satu makam yang baru selesai disiram. Tanah-tanahnya masih basah.
"Kakek dikubur di sini, Pak?" tanya saya ke Bapak. Saya kaget.
Bapak mengangguk.Â
Yang benar saja, masak dikubur di belakang rumah? Bukankah masih banyak tanah di luar sana? Saya mengernyitkan dahi.
"Di sini, sudah biasa kuburan di halaman belakang," kata ibu seperti mengerti saya sedang bertanya-tanya. Pantasan, tidak ada makam saya lihat sepanjang perjalanan.
Pikiran saya langsung melayang-layang ke sebuah kamar di bagian paling belakang rumah kakek. Karena kehabisan tiket pulang, kami harus menginap satu malam.Â
Kata ibu, nanti saya tidur di kamar itu. Kamar itu punya satu jendela menghadap ke halaman belakang. Tepat dan sangat bisa melihat petakan tanah di mana kakek dikubur. Di mana bunga Melati masih bertebaran. Di mana aroma tanah basah begitu menyengat.