Dari bandara ke rumah kakek, saya melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Sawah-sawah dengan padi yang menghijau sangat menyegarkan, terbentang luas di kanan kiri. Bukit-bukit dipenuhi pohon-pohon karet dan perdu cemara berjajar seperti menyambut kami.Â
Perhatian saya tersita beberapa menit, melihat air terjun yang turun begitu deras, membelah sungai kecil di bawahnya. Beberapa orang duduk di batu-batu di sekitar sambil memancing. Pemandangan yang sulit didapatkan di kota besar. Saya membuka jendela mobil.
"Pak, bagus sekali pemandangan ke rumah kakek ya," spontan saya berceloteh.
"Untung kan kamu ikut," jawab bapak.Â
Namun, anehnya, saya tidak melihat kuburan sama sekali. Bukankah setiap desa minimal ada kompleks kuburannya? Di mana nanti kakek akan dimakamkan? Ke mana kami pergi menguburkannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu bersama kekaguman akan alam tanpa terasa telah mengantarkan saya ke rumah kakek. Waktu berjalan begitu cepat. Kami telah sampai di depan pagar.
Sudah ada orang-orang berbaju hitam berkerumun. Banyak sekali, seperti banyak yang kehilangan kakek. Saya tidak heran, kakek memang orang baik. Pasti banyak warga di sini yang datang karena tersentuh dengan perbuatan baiknya.
Kami turun dari mobil. Saya berjalan di belakang bapak. Ibu sudah duluan masuk. Di ruang tengah, jenazah kakek terbaring dalam keranda.
Meskipun sudah dimandikan dan dirias begitu rupa, wajah kakek masih kuyu. Kulit tangannya penuh keriput. Giginya yang ompong terlihat sedikit, karena mulutnya terlalu kaku untuk dirapatkan. Terdengar isak tangis dari para warga. Beberapa melantunkan doa, berharap kakek ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya.
Air mata saya tidak terkendali. Saya mengambil sehelai tisu. Saya berbalik badan dan menyekanya. Dada saya menghangat. Ada perasaan bergemuruh, ketika melihat kakek terbaring tak berdaya.
Seperti itukah saya nanti ketika sudah meninggal? Apa yang bisa saya lakukan dengan tubuh tak bergerak itu? Mengapa saya masih menyia-nyiakan hidup selama masih bisa melakukan ini dan itu?