Saya tertegun. Orang ini tidak mengenal saya, tetapi mengapa berani menyindir masalah yang terlalu pribadi? Buat apa ia mengetahui saya sudah menikah atau belum? Apa ia tidak berpikir, komentarnya bisa menyinggung hati orang? Belum kenal, tetapi bertingkah seperti seorang saudara.
"Pantai di sini bagus ya, Pak. Pasirnya putih sekali. Dari sekian banyak pantai yang pernah saya kunjungi, barangkali ini pantai terindah yang pernah ada," kata saya mengalihkan perhatian. Saya memang tidak menjawab pertanyaannya. Malas, jika nanti dilayani, malah panjang lebar ke arah yang tidak saya inginkan.
Bayangkanlah, masalah pribadi orang, semua suka berkomentar. Dalam perbincangan antartetangga, lewat diskusi di warung kopi, bahkan pertemuan resmi yang seharusnya membicarakan pekerjaan, komentar-komentar tentang hidup orang lain selalu ada.Â
Semua boleh memiliki pandangan, semua bebas berkomentar. Demikian yang saya tahu tentang aturan kota ini. Tetapi sayang, tidak semua berani mempertanggungjawabkan komentarnya. Tidak semua bisa menyampaikannya secara logis.Â
Beberapa ada yang samar tentang maksud komentar. Sebagian besar hanya berniat menjatuhkan. Sebegitu irikah orang-orang di sini akan kesuksesan orang lain? Sebegitu ingin tahukah mereka akan kabar bahkan rahasia orang lain?
Tidak hanya kehidupan pribadi para penduduk yang menjadi objek komentar. Penguasa kota ini pun tidak lewat mendapat komentar. Sebagian menuduh para pekerja penguasa adalah tukang korupsi. Beberapa memberi cap bahwa pekerja penguasa sering malas bekerja dan hanya makan gaji buta.Â
Banyak yang bersuara dan membuat arak-arakan di depan kantor penguasa untuk menuntut keadilan. Tidak sedikit yang meminta untuk beroleh kesejahteraan yang sama antarpekerja, tanpa memandang kompetensi dan keahlian yang dimiliki. Â
Tidak ada yang membangun saya baca. Baik tulisan-tulisan yang menempel di dinding-dinding bangunan, komentar yang melayang dan berhamburan di dunia maya, bahkan yang disajikan oleh tokoh-tokoh komentator yang punya banyak pengikut, semua ingin mengoreksi dan menyatakan kesalahan. Sudah terlalu buruk bagi mereka, kerja dari penguasa kota.
Pada sisi lain, prestasi para penduduk kota ini sedikit sekali yang layak dibanggakan. Jarang sekali yang berpikir untuk sekolah tinggi-tinggi dan memperdalam ilmu.Â
Kata mereka, buat apa punya ilmu tetapi disalahgunakan untuk membodohi penduduk? Kata saya, itu bukan sebuah alasan untuk membenarkan diri karena tidak berupaya sekolah tinggi-tinggi. Bilang saja tidak mau belajar.
Karena semakin payah cara-cara orang berkomentar -- beberapa bahkan menyebar berita bohong -- dan semakin aneh pribadi-pribadi yang suka berkomentar -- sebagian besar lempar batu sembunyi tangan, maka untuk kebaikan bersama dan meredam emosi dan ketegangan yang sering sekali mudah timbul karena perdebatan akan komentar yang omong kosong dan hanya meributkan masalah suka tidak suka, penguasa akhirnya mewajibkan seluruh penduduk kota masuk pendidikan sekolah berkomentar. Sekolah itu dibangun secepat kilat di tengah kota dengan bahan semi permanen.