Kota ini sungguh berbau ludah. Udara yang mengalir dari pagi, sore, hingga malam, tanpa memandang itu hasil embusan napas manusia atau embusan pohon-pohon yang tentu menyegarkan karena mengandung oksigen pada siang hari, tidak ada sedetik langsung bercampur dengan riak-riak air liur yang bertebaran tanpa henti di setiap sudutnya.
Tidak ada yang pernah tahu, mengapa penduduk kota ini gemar sekali berbincang dan mengurusi orang lain. Meskipun saya telah mengunjungi salah satu museum yang menguburkan orang tertua di kota ini -- berharap saya beroleh informasi dari batu nisannya atau semacam prasasti lain, masih pula menjadi misteri tentang kapan pertama kali orang-orang di kota ini suka berkomentar.
Saya datang ke kota ini bukan tanpa sebab. Saya lihat dari sekian banyak kota yang punya tempat wisata, kota ini salah satu yang terbaik. Pantai pasir putihnya mengilat jernih, waktu ditempa sinar matahari yang terang benderang. Air laut bersama deburan ombak berwarna biru bening, seperti tidak ada sampah mengapung dan tenggelam di dalamnya.Â
Sampai-sampai yang saya dengar, orang bisa melihat dengan jelas seekor ikan teri berenang-renang di dasar tanpa perlu membenamkan kepala. Belum lagi daya pikat dari sebuah pulau kecil yang berada tidak jauh dari garis pantai, dengan bentangan pohon kelapa yang tumbuh subur, serta bakau di sana-sini, membuat suasana unik akan alamnya.Â
Sayang seribu sayang, hanya saya wisatawan yang datang dari luar kota. Objek wisata itu sepi. Informasi yang saya baca, wisatawan luar kota yang datang terakhir ke situ ada sepuluh tahun lalu. Itu pun hanya lima orang.Â
Saya sedikit heran, apa yang menyebabkan daerah sebagus ini sedikit bahkan hampir nihil pengunjung jika tidak ada saya? Apa mungkin ada hubungannya dengan udara-udara kotor yang penuh bau liur itu?Â
Apakah para wisatawan gerah, terus mendapat komentar dari para penduduk? Barangkali memang iya. Mana ada, orang yang suka dikomentari, terlebih jika itu mengandung kritik.
Saya sebetulnya selalu menghindar menggunakan kata "kritik". Lebih suka mengemasnya dalam bentuk "masukan" agar terlihat hanya memberi pandangan dan tidak memaksakan, apalagi menyalahkan.Â
Tetapi, semua ucapan orang-orang di kota ini rata-rata bernada menyalahkan. Sering sekali menyakitkan. Tidak ada yang benar di mata mereka. Semua bisa dikoreksi dengan sekali ucap. Semua dapat dikomentari dengan sekali tancap. Tidak ada yang berpikir panjang dampak sesudahnya.
"Pak, Bapak kok sendirian? Mana pasangannya?" tanya seorang penduduk saat menghampiri saya sedang duduk menepi di bawah pohon kelapa di tepi pantai itu.