Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Putra Pertamaku

28 Agustus 2021   01:12 Diperbarui: 28 Agustus 2021   02:10 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak pertama, sumber: Thinkstock via detik.com

Aku tidak pernah memusingkan betapa besar biaya rumah sakit yang harus kutanggung untuk kelahiran putra pertamaku. Aku tidak terlalu menganggap keharusanku berjaga setiap malam di tengah badanku yang telah capai bekerja sebagai upaya yang terlalu melelahkan dan menguras tenagaku. Aku juga tidak hitung-hitungan atas tawaran proyek yang kulepaskan begitu saja karena aku harus menunggu pujaan hatiku berjuang menghadapi hidup dan mati, demi adanya buah hati kesayanganku. 

Aku hanya berharap perempuan di depan mataku ini tidak lekas-lekas sadar dari pemulihannya. Aku ingin ia tidur sedikit lebih lama, setidaknya tidak bangun akhir-akhir ini, sampai kondisinya tenang dan ia siap menerima semua masukan.

Aku tahu, bahkan sebelum aku menikah dengannya, ia memang paling sulit diajak berdebat. Bila hendak disebut keras kepala, mungkin demikian adanya. Ia suka mengatur segala penampilanku saat ke kantor. 

Bila ia menemukan sehelai rambutku tidak tersisir rapi, maka dengan tidak ragu ia akan berteriak, "Tengok dulu cermin itu! Sisir rambutmu! Jangan memalukan!"

Belum lagi soal aku yang tidak boleh pulang malam-malam. Kendati memang tidak bisa cepat pulang karena harus rapat dan lembur, ia terus menuduhku ada main serong dengan pegawai perempuan di kantorku.

Masalah masakan yang ia sajikan baik sarapan maupun makan malam, itu pun ia tidak terima jika ditegur tidak enak. Suatu kali pernah tanpa sadar, aku kelepasan bilang, "Asin sekali ini!" 

Tidak berapa lama, ia mengurungkan niat untuk memasak yang sebetulnya katanya adalah hobi. Aku pun bingung, bila hobi, seharusnya enak masakannya. Apa lidahnya memang payah dalam merasa?

Kalau soal mengulum, aku harus akui ia piawai. Ia memang paling hebat dalam memainkan lidahnya dalam mulutku. Selalu saja aku bergairah ketika ia sudah mengeluarkan sedikit ujung lidah pada sisi kiri bibirnya, lantas mengerjapkan mata dengan genit, dan tak berapa lama ia sudah telanjang di atas tempat tidur.

Syukurlah, dalam banyaknya -- entah sudah tidak terhitung -- usaha kami bercinta, sembari terus berkonsultasi dengan dokter langganan tentang bagaimana cara bercinta terbaik, akhirnya kami diberikan kesempatan untuk memperoleh dan membesarkan anak setelah melewati sembilan kali ulang tahun pernikahan.

Banyak yang senang atas kehadiran buah hatiku ini. Banyak pula yang turut campur untuk memberi nama baginya. Satu dua hanya melemparkan usulan sekenanya. Yang lain, lebih banyak dari itu, terus saja memaksa. 

Aku tidak tahu, bagaimana caranya mengatakan pada istriku, permintaan orang-orang yang entah kenapa seperti sedang memberlakukan aturan yang tidak boleh dilanggar.

"Namanya harus Satriyo!" kata papaku di ruang tunggu. "Kau tahu kan, di keluarga kita, anak pertama, apalagi cucu laki-laki, namanya harus dari kakeknya!" lanjut papa dengan nada menekan.

Aku hanya diam. Sebetulnya suaranya tidak begitu kudengarkan. Pikiranku melayang pada ancaman yang diberikan papa untuk adik perempuanku, yang saat itu menolak mentah-mentah pemaksaan nama darinya.

"Kau mau jadi pengangguran? Sejak kapan kau diajari melawan Papa?" seru Papa lantang tepat setelah adik menggeleng seusai Papa menyebut usulan nama untuk anaknya.

Papa seperti berkuasa penuh atas hidup anak-anaknya. Sebagai orangtua, ia memang patut dipuji karena bertanggung jawab dengan memberikan tiap-tiap kami -- ketiga anaknya -- sebuah jabatan direktur di perusahaannya. Tetapi, ia terus menganggap usahanya itu harus dibalas dengan kepatuhan kami padanya. Ia terus mencampuri keseharian rumah tangga kami. Bahkan untuk urusan nama anak.

"Jangan lupa! Namanya Anggara. Ingat itu! Anggara. Awas, kalau kau kasih nama lain!" seru ayah mertuaku lewat telepon waktu aku memberitahu kabar terkini Siska padanya. Mertuaku itu pun sama, suka membesar-besarkan dirinya telah berjasa besar untuk keluarga kami.

Katanya kepada istriku, ia telah merelakan anaknya kepadaku yang jelek sekali ini. Menurutnya, mukaku yang hitam, berjerawat di sana-sini, hidung begitu pesek, kepala botak, tidak layak mendapatkan anaknya yang berwajah seperti permaisuri itu. Jika bukan karena istriku merengek-rengek dan berdiam dalam kamar berhari-hari tidak mau makan, mungkin aku tidak akan menjadi menantunya.

Ia pun masih suka mengungkit-ungkit rumah yang kami tempati sekarang. Rumah bagian milik istriku yang masih menjadi miliknya, untuk seterusnya dan selamanya sampai ia benar-benar mati. Terus saja, sebagai pahlawan, ia juga mencampuri urusan rumah tangga kami.

"Apa saya tidak boleh memilih?" kuberanikan diri menjawab pertanyaan mereka. Baik papa maupun mertuaku, keduanya melemparkan ekspresi muka yang sama. Urat-urat menegang. Tatapan mereka nyalang, seperti mengeluarkan pisau tajam yang siap menyayat jika dilawan. 

"Kau berani melawan orangtua?"

Pertanyaan yang sulit sekali kujawab. Orangtua, iya, orangtua. Orang yang melahirkanku ke dunia. Sampai kapan pun memang, tidaklah pantas anak melawan orang yang telah membesarkannya. Membalas jasa-jasanya saja tidak akan pernah tuntas. 

Tetapi, apa memang dalam segala hal, semua perkataan orangtua harus dipatuhi? Bukankah anak juga sesekali memiliki kebebasan?

Istriku masih tergeletak di atas tempat tidur. Tangannya masih tertancap selang infus. Di sampingnya, dalam inkubator, Jeremy kecil sedang tidur nyenyak. 

Ketika aku menengok mereka berdua, aku tidak bisa melupakan bagaimana istriku menahan kesakitan yang begitu luar biasa saat melahirkannya. Aku merasakan tangannya menggenggam erat tanganku. Ia menggigit selimut biru itu kencang-kencang, seperti begitu parah deritanya. Ia sedikit tenang saat tanganku satu lagi membelai rambutnya. Kukecup keningnya.

Sebagai seorang ibu, seharusnya ia yang lebih berhak dan pantas memberikan nama. Sejak awal-awal pernikahan kami, ia pun sudah menuliskan sebuah rangkaian nama di secarik kertas dan membacakannya untukku, siapa nama anak kami kelak. Dalam tiga nama berurutan, ia bersikeras dan harus itu namanya. Sekali lagi, kebiasaan keras kepalanya hanya membuatku terdiam.

"Steven Leonardo Jeremy," begitu ujarnya. Apa ia punya kemampuan meramal? Bisa tepat sekali usulan namanya dengan jenis kelamin anak kami yang baru lahir sembilan tahun kemudian?

"Pokoknya, harus ini namanya. Saya tidak mau ada orang lain memberi nama. Titik!" Ia berkata dengan tegas waktu itu. Aku sendiri seperti tidak boleh memberi usulan nama. 

Daripada kami berdebat, lebih baik aku mengiyakan saja. Tahu sendiri, kalau sudah didebat kepala batunya, ia bisa berhenti melayaniku di atas ranjang. 

Aku hanya berteman dengan sepi dalam setiap malam. Siapa suami yang tahan dengan dinginnya sentuhan?

Pikiranku kacau saat ini. Jika papaku mengetahui hal itu, aku bisa saja dianggap melawannya. Posisi direkturku bisa hilang dari tangan. Aku akan kembali menjadi pegawai biasa, dan tentu fasilitas-fasilitas bos akan tidak ada lagi. Siapkah istriku atas kenyamanan yang hilang itu?

Belum lagi potensi aku diusir dan harus mencari rumah baru jika aku tidak mengiyakan permintaan ayah mertuaku. Mengapa mereka begitu repot soal pemberian nama? Adakah memang nama begitu penting sehingga harus dipermasalahkan? Sampai sejauh mana dan sepantas apakah orangtua mencampuri urusan rumah tangga anaknya?

Istriku belum bangun. Dalam suara lirih dan sedikit mengigau, ia memanggil, "Steven, Steven." Pikiranku semakin kacau. Steven, Satriyo, atau Anggara? Istriku, papaku, atau ayah mertuaku? 

Sebaiknya, siapa nama anakku?

...

Jakarta

28 Agustus 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun