"Namanya harus Satriyo!" kata papaku di ruang tunggu. "Kau tahu kan, di keluarga kita, anak pertama, apalagi cucu laki-laki, namanya harus dari kakeknya!" lanjut papa dengan nada menekan.
Aku hanya diam. Sebetulnya suaranya tidak begitu kudengarkan. Pikiranku melayang pada ancaman yang diberikan papa untuk adik perempuanku, yang saat itu menolak mentah-mentah pemaksaan nama darinya.
"Kau mau jadi pengangguran? Sejak kapan kau diajari melawan Papa?" seru Papa lantang tepat setelah adik menggeleng seusai Papa menyebut usulan nama untuk anaknya.
Papa seperti berkuasa penuh atas hidup anak-anaknya. Sebagai orangtua, ia memang patut dipuji karena bertanggung jawab dengan memberikan tiap-tiap kami -- ketiga anaknya -- sebuah jabatan direktur di perusahaannya. Tetapi, ia terus menganggap usahanya itu harus dibalas dengan kepatuhan kami padanya. Ia terus mencampuri keseharian rumah tangga kami. Bahkan untuk urusan nama anak.
"Jangan lupa! Namanya Anggara. Ingat itu! Anggara. Awas, kalau kau kasih nama lain!" seru ayah mertuaku lewat telepon waktu aku memberitahu kabar terkini Siska padanya. Mertuaku itu pun sama, suka membesar-besarkan dirinya telah berjasa besar untuk keluarga kami.
Katanya kepada istriku, ia telah merelakan anaknya kepadaku yang jelek sekali ini. Menurutnya, mukaku yang hitam, berjerawat di sana-sini, hidung begitu pesek, kepala botak, tidak layak mendapatkan anaknya yang berwajah seperti permaisuri itu. Jika bukan karena istriku merengek-rengek dan berdiam dalam kamar berhari-hari tidak mau makan, mungkin aku tidak akan menjadi menantunya.
Ia pun masih suka mengungkit-ungkit rumah yang kami tempati sekarang. Rumah bagian milik istriku yang masih menjadi miliknya, untuk seterusnya dan selamanya sampai ia benar-benar mati. Terus saja, sebagai pahlawan, ia juga mencampuri urusan rumah tangga kami.
"Apa saya tidak boleh memilih?" kuberanikan diri menjawab pertanyaan mereka. Baik papa maupun mertuaku, keduanya melemparkan ekspresi muka yang sama. Urat-urat menegang. Tatapan mereka nyalang, seperti mengeluarkan pisau tajam yang siap menyayat jika dilawan.Â
"Kau berani melawan orangtua?"
Pertanyaan yang sulit sekali kujawab. Orangtua, iya, orangtua. Orang yang melahirkanku ke dunia. Sampai kapan pun memang, tidaklah pantas anak melawan orang yang telah membesarkannya. Membalas jasa-jasanya saja tidak akan pernah tuntas.Â
Tetapi, apa memang dalam segala hal, semua perkataan orangtua harus dipatuhi? Bukankah anak juga sesekali memiliki kebebasan?