"Ibu, ibu tidak perlu menangis. Saya akan melihat lagi. Tunggu saja waktunya," kata seorang anak kecil dengan ucapan yang sangat bijak, sembari membelai pundak perempuan di sebelahnya. Perempuan itu masih saja meneteskan air mata, penuh kecewa dan ketidakterimaan, mengapa anak itu terlahir dengan satu mata.
Dari keluarnya sang anak sampai berumur sepuluh tahun, ibu itu tetap terus menangis, baik dalam kesendirian maupun bersama sang anak, di mana pun, kapan pun, bahkan ketika mengajak sang anak keluar rumah.Â
Semua orang mendapati bajunya selalu basah, berlumur banjiran air mata yang terus saja menetes, mengalir membasahi tanah dan jalan, sesekali bercampur dengan air hujan hingga membuatnya terlihat menjadi tambah banyak.
Sementara anak lelaki itu hanya tersenyum. Ia terus menyabar-nyabarkan ibunya untuk menerima kenyataan. Memang, sangat sulit, tetapi harus bagaimana lagi.Â
Sesuatu yang terjadi di luar kendali terkadang cara terbaik mengatasinya hanya dengan menerima.
Anak itu tahu, keadaannya waktu lahir tidak muncul tanpa sebab. Ketika ia masih dalam kandungan ibu, waktu otaknya terbentuk, pikirannya tiba-tiba dibawa seberkas cahaya ke suatu tempat.
"Kau sudah siap lahir ke bumi?" kata cahaya itu dalam gema suaranya yang begitu menggetarkan.
Anak itu bergeming. Ia masih terpukau dengan begitu dahsyat suara gema itu.
"Karena kau telah berbuat jahat pada kehidupan sebelumnya, maka saya beri hukuman. Kau akan terlahir dengan satu mata. Selama hidupmu selepas sapihan ibu sampai bisa berjalan-jalan sendiri bertemu orang, kau akan hidup dengan satu mata."
"Tetapi, karena saya berkemurahan dan tidak tega melihat hidupmu sengsara dan berhubung ada juga kebaikan yang telah kau lakukan, maka saya beri kesempatan kau untuk memilih."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!