Mata salah satu wanita itu bergerak-gerak. Secepat kilat, setetes air mata jatuh.
"Kali ini tolonglah," katanya terbata-bata, "ibu saya sakit di rumah. Saya tidak punya uang. Pinjaman yang kemarin pasti nanti saya kembalikan," lanjutnya sembari sangat memohon. Air matanya sedikit menderas.
"Dua hari yang lalu pamanmu. Kemarin bapakmu. Sekarang ibumu. Besok, siapa lagi keluargamu yang sakit?"
Meskipun samar, percakapan itu bisa didengar oleh lelaki satu mata itu. Ia tersenyum. Ia paham, modus yang dipakai dalam meminjam uang.
Ia kembali berjalan dalam keremangan malam. Ia memungut beberapa botol plastik yang terserak di jalan dengan garpu panjangnya, lantas memasukkan ke dalam karung. Ia heran, mengapa sebagian orang masih sering buang sampah sembarangan?
Ia berhenti di warung lain. Ia duduk di atas sebuah bongkahan batu sambil melirik kanan dan kiri, ke arah jalan. Ada percakapan lain yang juga samar didengarnya dari sepasang muda-mudi dari dalam warung.
"Kamu cantik deh, hari ini," kata seorang lelaki di depan kekasihnya.
"Ah, yang benar?" jawab kekasih itu sambil melihat berulang-ulang wajahnya di depan cermin. Ia merapikan sedikit lipstik yang terserak. Lelaki itu meraba tangannya.
"Benar dong! Sepertinya kamu paling cantik dari semua wanita. Sungguh beruntung saya mendapatkanmu," lanjut lelaki itu dengan mata genitnya yang mulai dilemparkan ke setiap bagian tubuh wanita itu yang lekukannya terlihat karena bajunya begitu ketat.
Lelaki satu mata itu tersenyum. Rayuan gombal, batinnya. Mata penipu. Paling, ia memuji karena ada maksud.Â
Seketika perhatian lelaki satu mata itu teralihkan. Ia melihat seorang pemuda duduk gelap-gelapan di bawah sebuah pohon. Pemuda itu memegang ponsel di tangan. Tangannya terlihat sibuk mengetik. Beberapa kali seperti bermain game.