"Carilah mata-mata orang di sekitarmu yang ingin engkau punyai. Setelah cocok, berdiamlah dalam kamar, kunci pintu, dan tunggu. Saya akan mendatangimu dan memberi mata seperti yang kau inginkan itu."
"Ingat! Hanya sekali kesempatan engkau meminta."
Anak itu sudah pernah menceritakan kisah itu kepada ibunya. Tetapi, karena ibu terlalu kalut dalam emosi dan memandang cerita itu hanya bualan belaka, maka sia-sialah ucapan sang anak. Penghiburan darinya tetap tidak bisa menghentikan tetesan-tetesan air mata sang ibu yang selalu mengalir dari hari ke hari.
Tibalah waktunya lelaki itu keluar dari rumahnya yang reot itu. Ia berjalan-jalan ke sekitar. Dengan satu mata kirinya, ia memandang orang berlalu-lalang.Â
Pakaiannya hitam lusuh. Ia memanggul sebuah karung goni berwarna cokelat. Tangan kanannya membawa sebuah garpu panjang guna memulung barang-barang bekas yang masih bisa digunakan.
Ia berjalan mendekati sebuah warung makan. Ada seorang bapak berdiri dengan gagah, memakai jas hitam dan celana panjang cokelat. Parfumnya wangi sekali. Bapak itu baru keluar dari mobil.
Lelaki itu menengadahkan tangan di depan bapak itu. Tanpa melihat, bapak itu lewat begitu saja. Matanya tidak melirik sama sekali. Ia hanya mendeham dan terus melihat ponsel, seolah ada urusan penting yang harus dikerjakan. Lelaki itu menarik tangannya.
"Sombong sekali orang ini. Mentang-mentang berduit," gumamnya dalam hati.
Tidak jauh dari situ, ada dua orang wanita sedang duduk dan makan bersama. Seperti sepasang teman. Satu terlihat kesusahan dan ingin minta tolong. Satu lagi merasa kecewa.
"Tolonglah! Bantu saya. Kali ini saja. Saya tidak akan lagi merepotkanmu."
"Sudah berapa kali kau bohong? Kemarin katanya mau lunasi. Sekarang belum lunas, mau pinjam lagi. Kau jangan tipu-tipu!"