Kita bukan pelaku yang mengalami emosi
Poin selanjutnya, tidak ada emosi yang menguasai pikiran kita. Kita hanya sebagai pendengar. Kendati tersalur emosi negatif dari pihak yang curhat, tentu tidak lebih besar daripada pihak itu.
Sebagai bentuk empati, mungkin kita ikutan marah dan jengkel. Tetapi, muatannya bisa dikendalikan. Berbeda dengan wanita itu. Orang yang sudah dikuasai emosi sulit berpikir bijak.
Kita ingin berbuat baik dengan memberi solusi
Semua ajaran agama mengajar kita untuk berbuat baik pada sesama. Memberi solusi dan pencerahan sebijak mungkin termasuk salah satunya.
Semangat itulah yang mendasari kita untuk berpikir serius dan memutuskan sejernih-jernihnya. Selain, ia adalah sahabat dekat atau orang penting dalam hidup kita.
Kita punya lebih banyak waktu
Jika tidak secara langsung, kita punya lebih banyak waktu untuk memikirkan masalah lebih dalam daripada pihak penderita yang mengalami saat itu juga.
Semakin lama berpikir, tentu besar kemungkinan semakin komprehensif pemetaan masalah. Sebab akibat ditemukan. Kurang lebih dampak pelaksanaan solusi dirumuskan. Solusi terbaik dan terbijak adalah yang lebih banyak memberi manfaat.
Tidak bisa dimungkiri, sebagian kita memang lebih pandai menjadi guru bagi orang lain.Â
Memberi pemikiran yang bijak dan dapat menenangkan. Tetapi, bisakah sama pandainya jika kita sendiri yang mengalami masalah?