"Namanya manusia hidup ya pasti diselimuti masalah, kalau cuma mau diselimuti wijen mending jadi onde-onde," cuit BudeSumiyati di akun twitternya.Â
Saya tergelitik membacanya. Entah, atas dasar apa Bude mengeluarkan kalimat itu. Boleh jadi setelah melihat orang-orang banyak mengeluh karena dirundung masalah. Mungkin pula sebab terlalu pelik masalah hingga sulit teratasi, akhirnya dibuat lelucon saja.
Tetapi, memang benar, setiap orang pasti punya masalah. Selama masih hidup di bawah matahari, masalah selalu membayangi. Berbeda-beda respons orang menghadapinya.
Ada yang jatuh bangun mengatasi. Ada yang tidak ambil pusing dan santai menjalani. Ada yang begitu lelah karena harus terus berperan sebagai "badut" (tetap tersenyum dan menghibur kendati masalah berjibun).
Itu masih masalah pribadi. Belum lagi masalah orang lain, yang terkadang tanpa kita minta, datang sendiri. Beberapa orang terdekat memohon solusi dan menganggap kita bisa mengatasi masalahnya.Â
Tidak usah orang terdekat. Yang jauh-jauh di media sosial pun -- tidak kenal sama sekali sosoknya -- kita sering urun rembuk memberi pandangan berdasarkan logika pribadi yang diharapkan mencerahkan.
Sesekali, dari kacamata seorang pengamat, kita menilai tidak tepat cara orang itu menghadapi masalah. Mengapa bisa emosi sekali? Mengapa kata-kata kotor dikeluarkan? Mengapa tidak bisa diselesaikan secara baik-baik? Pikiran-pikiran bijak kita yang mengarah ke solusi tercetuskan.Â
Pada sisi lain, apakah betul kita bisa menerapkan pikiran bijak itu seandainya kita ada di posisinya? Setenang mengutarakan pendapat dan menyajikannya sesantun mungkin? Saya sedikit ragu.Â
Kemungkinan besar kita memang lebih bijak mengatasi masalah orang lain daripada milik sendiri. Jika mengalami langsung, bisakah sebijak pikiran kita?
Sebuah ilustrasi
Seorang wanita datang ke rumah sahabatnya. Dari kejauhan sebelum mengetuk pintu, terdengar isak tangis begitu keras. Sahabatnya membuka pintu.
"Kenapa lagi?" katanya. Wanita itu tersungkur bersimbah tangis di dada. "Dia selingkuh!" teriak wanita itu begitu keras. Sahabat mencoba menenangkan.
"Bagaimana bisa? Kapan?" tanyanya. Sambil menyeka tangisan, wanita itu kembali merengek. "Saya lihat dia bersama wanita lain di kafe itu," katanya masih dengan tetesan air mata.
"Sudah, tenang, tenang. Masih banyak kok lelaki lain. Kalau ia tertangkap nakal sekarang, berarti ia bukan yang terbaik untukmu," kata sahabatnya.Â
"Tapi kamu gak tahu, betapa saya mencintainya! Kamu gak tahu betapa besar pengorbanan saya baginya. Kamu pun tidak tahu, betapa sakit rasanya diselingkuhi!" wanita itu sedikit menyentak. Tangisnya berubah jadi amarah.
Anda pernah sadar?
Mungkin kasusnya lain pada hidup Anda. Saya pribadi juga pernah mengalami. Betapa kita begitu tenang dan mampu berpikir jernih memberi solusi untuk masalah orang lain. Sementara jika terjadi sendiri, entah kenapa solusi itu rentan hilang. Mengapa ini lazim terjadi?
Kita tidak menderita kerugian
Sebagai pihak yang memberi solusi, kita tidak menderita kerugian. Dalam ilustrasi, sahabat dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang diderita, seperti kondisi wanita itu yang sedang tersakiti.
Orang cenderung bisa berpikir tenang saat tidak mengalami gangguan. Kejernihan mengambil solusi dan mencari pencerahan lebih mudah terjadi.
Kita bukan pelaku yang mengalami emosi
Poin selanjutnya, tidak ada emosi yang menguasai pikiran kita. Kita hanya sebagai pendengar. Kendati tersalur emosi negatif dari pihak yang curhat, tentu tidak lebih besar daripada pihak itu.
Sebagai bentuk empati, mungkin kita ikutan marah dan jengkel. Tetapi, muatannya bisa dikendalikan. Berbeda dengan wanita itu. Orang yang sudah dikuasai emosi sulit berpikir bijak.
Kita ingin berbuat baik dengan memberi solusi
Semua ajaran agama mengajar kita untuk berbuat baik pada sesama. Memberi solusi dan pencerahan sebijak mungkin termasuk salah satunya.
Semangat itulah yang mendasari kita untuk berpikir serius dan memutuskan sejernih-jernihnya. Selain, ia adalah sahabat dekat atau orang penting dalam hidup kita.
Kita punya lebih banyak waktu
Jika tidak secara langsung, kita punya lebih banyak waktu untuk memikirkan masalah lebih dalam daripada pihak penderita yang mengalami saat itu juga.
Semakin lama berpikir, tentu besar kemungkinan semakin komprehensif pemetaan masalah. Sebab akibat ditemukan. Kurang lebih dampak pelaksanaan solusi dirumuskan. Solusi terbaik dan terbijak adalah yang lebih banyak memberi manfaat.
Tidak bisa dimungkiri, sebagian kita memang lebih pandai menjadi guru bagi orang lain.Â
Memberi pemikiran yang bijak dan dapat menenangkan. Tetapi, bisakah sama pandainya jika kita sendiri yang mengalami masalah?
Apakah sahabat itu bisa setenang itu juga waktu ia diselingkuhi pasangannya? Atau ia sama saja dengan wanita itu, yang meronta-ronta karena hatinya sakit sekali sampai-sampai tidak bisa berpikir apa-apa.
...
Jakarta
6 Agustus 2021
Sang Babu Rakyat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI