Nahasnya, jika ketagihan, itu bisa jadi tolok ukur pengunggahan selanjutnya. Kita jadi berpikir, disukai atau tidak ya? Mendapat tanggapan positif atau tidak ya? Jika menurun, semangat mengunggah dapat berkurang.
Padahal, suatu kali, esensi mengunggah lebih kepada menyenangkan diri sendiri atas penggunaan media sosial. Segala pemikiran dan perasaan yang tidak bisa disampaikan di dunia nyata boleh ternyatakan lewatnya.
Akhirnya, lewat pertimbangan atas penilaian dan kecanduan disukai orang lain, kita jadi tidak bebas mengunggah. Story tidak membiasakan itu.
Percakapan lebih nyaman
Bagian keempat, sejalan dengan privasi, percakapan yang timbul antarpengguna akun akibat pertanyaan seputar unggahan dirasakan terjadi lebih nyaman.
Hanya berlangsung dua pihak, antara penanya dan penjawab. Tidak dilihat banyak orang. Boleh bebas bercakap apa saja bila itu sahabat dekat. Tidak perlu berbasa-basi atau mencitrakan diri.
Masing-masing sama-sama tahu. Terkadang, umpatan keluar. Jika disaksikan banyak orang, penilaian bisa berubah lain. Kita dipandang negatif. Padahal, umpatan itu sudah biasa antarsahabat dan tidak ada yang tersakiti.
Tidak harus repot-repot meladeni komentar
Story juga berpotensi tidak menimbulkan banyak komentar. Sejalan dengan repotnya melihat unggahan (tidak seperti feed yang langsung terlihat) dan tidak ada kolom komentar yang disediakan khusus seperti feed, orang enggan berkomentar jika tidak perlu amat.
Pengunggah tidak repot meladeni komentar. Jika kelupaan menanggapi, pun tidak terlalu apa, karena story hanya antara dua pihak. Sementara feed, ada perasaan tidak enak. Bisa kita dicap sombong oleh pengguna lain yang melihat. Dikomentari tetapi tidak dibalas.
Menghindari perdebatan tidak penting