Tidakkah ia berpikir, apakah konten itu mendidik? Mengapa ia ingin begitu viral kendati harus membuat konten sampah? Tahukah ia risiko yang mungkin dialami selama pengambilan konten? Tidakkah ia berpikir pula tentang nama baik keluarga yang bisa malu karena anggotanya terkenal tetapi memalukan?
Bila pembuat konten berpikir sejauh itu, tentu pertimbangan-pertimbangan melalui jawaban pertanyaan akan mengurungkan niatnya membuat konten sampah. Entah, ia sudah mempertimbangkan atau belum sebelum akhirnya membuat konten.
Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan pembuat konten. Apalagi, kedukaan sedang dialami. Sebaiknya, simpati lebih dikedepankan dengan menyatakan rasa belasungkawa.
Hukum permintaan dan penawaran
Pada sisi lain, konten menjadi viral (tanpa memandang kualitas konten) karena ada yang menonton. Ya, sebab kita-kita ini. Menekan tombol suka, memberi komentar, dan membagikan di media sosial.
Mau bagus atau jelek, saat telah menyimak bahkan berkomentar, kita sudah urun usaha untuk menenarkan. Baik hujatan dari pembenci maupun pujian dari penggemar sama-sama berperan memopulerkan pembuat konten.
Pembuat konten masa bodoh, yang penting ada komentar. Tidak jarang kan, ada pembuat konten terlihat seperti mengemis-ngemis komentar?
Lantas, sedikit banyak berpengaruh pada jumlah pengikut si pembuat konten. Sebagian penonton akan mencari akun media sosial aslinya, jika konten viral lewat akun orang lain.Â
Si pembuat konten merasa di atas angin. Dirinya dikenal banyak orang. Ia tidak berpikir panjang, kontennya sampah.
Pembuat konten juga belajar mengamati konten seperti apa yang gampang diviralkan dan disukai penonton. Ia melihat permintaan di media sosial. Ia melihat barang yang sedang dan berpotensi diminati. Kemudian, ia menawarkan.
Sebuah solusi agar tidak terjadi kembali