Akhir-akhir ini, dalam percakapan dengan ibu via WA, beliau bercerita seputar teman lansianya yang sedang sakit. Lagi-lagi, di tengah gempuran Covid-19, sulit sekali menghindar dari perbincangan tentang perkabungan atau penyakit. Di mana-mana sama. Banyak yang menderita.
Temannya itu sudah beberapa hari tidak mau makan. Istirahat di rumah dengan tubuh lemah tidak berdaya. Anaknya terus merawat dan menyediakan makanan. Anak itu memfoto ibunya dan mengirim ke ibu saya.
Langsung, ibu yang sifatnya gampang terenyuh, muncul iba. Diambilnya amplop berisi sejumlah uang dan dimintanya seseorang untuk mengantarkan. Karena tidak bisa keluar rumah gegara Covid-19, ibu minta tolong seorang kerabat dekat.
Amplop itu telah sampai. Harapan ibu, temannya jadi nafsu makan. Ya, walaupun tidak seberapa isinya, setidaknya dapat sedikit mengungkit gairah hidup temannya. Sayang, tidak seketika pulih.
Butuh dua tiga hari lagi, baru temannya itu mau makan. Ketika nafsu kembali, ibu saya langsung menyemangatinya untuk terus makan.
Kendati sakit, tidak boleh berhenti makan. Tubuh tetap butuh energi. Kendati pahit dan tidak ada rasa di mulut, tetaplah telan. Paksakan diri untuk makan.
Pesan itu untuk saya dan kakak juga...
Ya, ibu sebetulnya tidak terlalu paham apa penyakit temannya itu. Bagaimana cara menyembuhkan dan obat apa yang bisa menolong. Tetapi, yang beliau tahu, dalam keadaan apa pun, usahakan makan. Jangan biarkan perut kosong. Kecuali memang sedang puasa.
Saya dan ketiga kakak juga dinasihati seperti itu. Setiap kami sakit, ibu kerap membuat bubur dan sedikit sayur. Waktu kecil, kami terkadang disuapinya.
Kendati hidung hilang bau penciumannya, kendati mulut sangat pahit dalam mengunyah, kendati semangat melihat makanan kesukaan pun berkurang, tetaplah makan.
Dari segi ilmiah, makan sangat membantu pemulihan