Tidak ada yang lebih darurat dibutuhkan masyarakat kita sekarang ini seputar Covid-19 selain konsumsi berita benar lewat media sosial (medsos). Kecanggihan teknologi yang tersedia melalui berbagai gawai -- ponsel, komputer, atau televisi -- sangat menunjang kecepatan penyebaran berita.
Sekali klik atau pencet tombol, berita terkirim ke medsos orang lain. Bisa dilakukan secara serempak ke tiap-tiap medsos atau satu demi satu ke tiap-tiap grup. Sama saja. Banyak yang cepat membacanya.
Baru-baru ini Mama saya membagikan sebuah berita di grup WA keluarga. Berita itu berisi solusi menyembuhkan penderita dari paparan Covid-19. Setelah baca, dalam hitungan detik, saya ragukan kebenarannya. Sekadar baca, tanpa membagikannya.
Ketiga kakak saya pun begitu. Ada seorang kakak langsung komentar. Ia menyangsikan kebenarannya. Saya hanya tertawa. Ada niat menanyakan asal-usul Mama dapat berita itu.
Kemudahan memperoleh berita
Tidak bisa dimungkiri, dengan bergabung bersama orang-orang pada satu grup WA, kita tidak bisa membatasi tiap-tiap orang harus membagikan apa. Cerita seputar apa dan untuk apa. Bisa berbentuk tulisan, gambar, atau video.
Semua berhak menulis dan menyebarkan. Semua pun tidak sama tingkat pendidikannya. Ada yang Diploma III, Strata I, Strata II, Strata III, tidak terkecuali SMA, SMP, dan SD.Â
Sejalan dengan itu, orang yang gelar akademisnya semakin tinggi, tingkat nalar dan cara berpikir komprehensifnya tentu semakin apik.
Setiap hari, salah satu dari kalangan pendidikan itu pasti menyebarkan berita. Saya pikir niatnya bagus, menolong dan meredakan kecemasan orang. Tetapi, akan jadi masalah jika berita yang disebarkan adalah hoaks, alias tidak benar. Lebih kejam lagi, bohong.
Saya langsung memberi pendapat ke Mama untuk tidak menyebarkan berita itu. Tentu, setelah saya analisis lewat beberapa cara berikut:
Simak dulu pengirimnya
Saya tanya Mama, di mana Beliau beroleh berita itu. Siapa yang mengirimkannya? Apakah sekadar kirim atau dengan memberikan keterangan? Semisal, berita ini dituliskan oleh pakar dan darurat disebarkan.
Jika sumbernya bukan orang yang berkompeten, alangkah baik kita tanamkan ragu akan kebenaran berita. Jika bukan dari tangan pertama atau kedua, boleh pula menjadi pertimbangan untuk sekadar membacanya.Â
Cermati biodata penulis
Pastikan membaca berita sampai habis. Tidak ada yang terlewat, agar kita mampu menemukan siapa penulisnya. Biasanya terletak di akhir artikel. Tidak menutup kemungkinan di awal atau di tengah.
Seperti kita mengecek pengirim, patut pula kita cek penulisnya. Jika tidak ada biodata, tinggal tidur saja itu berita. Abaikan dan hentikan penyebarannya.
Jika ada keterangan, jangan langsung menyebarkan. Perlu kita pastikan sekali lagi, dalam kapasitas apa ia menuliskan. Sebagai wakil pemerintahkah, pengalaman pribadikah, penemu kiat-kiat penyembuhankah, dan seterusnya.
Tidak langsung benar pula isi berita jika terklarifikasi betul penulisnya. Tahan dulu sebelum menyebarkan. Masih ada tahapan yang perlu dilakukan.
Analisis isi berita
Ini bagian terpenting. Mari kita gunakan sebaik-baiknya nalar sehat dan sepeka-pekanya perasaan hati untuk membaca berita. Tiap-tiap orang berbeda-beda memang.
Jika semakin memperburuk suasana, alangkah lebih baik tidak disebarkan. Semua orang sekarang sedang butuh berita positif, yang efektif membangkitkan semangat.
Bila beritanya tidak masuk logika, apalagi semisal kiat-kiat menyembuhkan penderita dari Covid-19 tidak berdasarkan penelitian ilmiah, sudahlah, cukup ditertawakan saja.
Cari perbandingan secara daring
Berpikir lagi lebih komprehensif, cari artikel pembanding di mesin peramban secara daring. Biasanya, ada pula yang telah meneliti suatu berita hoaks dan menyatakan itu tidak benar.
Ini sangat menolong, seandainya kita tidak mampu menganalisis lebih dalam isi berita. Pendapat-pendapat para pakar dan pihak berwenang dan bersangkutan dari surat kabar tepercaya menjadi pisau bedah yang tajam untuk menguliti berita.
Lihat reaksi anggota grup
Yang terakhir, pastikan lihat dulu reaksi para anggota grup medsos. Apakah ada yang mengkritisi dan menanyakan seputar berita itu? Apakah ada yang meragukan kebenarannya?
Atau, malah ada yang sudah menyatakan itu tidak benar dengan membagikan informasi pembandingnya? Kita perlu pertimbangan berbagai pihak sebelum membagikan.
Berbagai dampak...
Ingat! Sekali klik bisa berpotensi maksimal baik atau terlalu fatal akibatnya. Seumpama yang disebarkan adalah berita benar, banyak orang tertolong.
Sebaliknya. Jika yang terbaca oleh orang-orang adalah berita tidak benar yang tidak jelas sumbernya, berjibun orang tersesat. Jika mereka aplikasikan cara sesuai keterangan berita, boleh jadi penderitaan-penderitaan berikutnya timbul.
Bukannya menyehatkan jiwa dan raga, malah menyakitkan jasmani dan rohani. Belum lagi status kita di pandangan orang. Sekali menyebar berita hoaks, kita akan dicap seperti pembuat berita hoaks.
Saya berpendapat, baik pembuat berita maupun penyebarnya adalah sama kesalahannya. Sama-sama menyesatkan orang. Ini yang perlu kita hindari. Jangan beri celah bagi pembuat berita hoaks untuk menyukseskan rencananya.
Akhir kata...
Mari, kita kritis pada setiap berita yang tersebar di medsos sekarang ini. Jangan pernah terburu-buru menyebarkan berita. Saya percaya, niat sebagian besar orang adalah baik. Kita ingin menyudahi derita atas pandemi Covid-19 ini.
Jangan sampai, karena ketidakcermatan analisis, kita malah memperburuk keadaan. Pikirkan, berapa banyak orang yang akan tersesat. Bukannya menolong, malah memperparah.
Semua kembali ke pikir masing-masing. Ke kepekaan rasa masing-masing. Juga ke jari masing-masing. Di sanalah, keputusan penyebaran berita muncul. Gunakan sebijak-bijaknya.
Ayo kita kritisi dan berantas berita hoaks!
...
Jakarta
4 Juli 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H