Sebagian kita perlahan mengubah dan menaikkan standar bahagia. Disimpulkan dari hasil pengamatan kebahagiaan orang-orang di sekeliling.
Mengejar bahagia tanpa filosofi
Kita terus bekerja keras mencari uang. Menabung untuk membeli rumah mewah. Selalu belajar agar mendapatkan prestasi akademik. Sepanjang perjalanan menuju bahagia -- yang bagi sebagian orang identik dengan kesuksesan -- ada kompetisi yang dilalui.
Tiap-tiap orang mulai memperbandingkan kebahagiaan masing-masing. Istilahnya, rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Kepunyaan kita selalu gersang dan perlu kiat khusus untuk lebih menghijaukannya.
Kita tanpa malu-malu belajar darinya. Kita menjadi anak didiknya. Setelah mencapai kesuksesan seperti dirinya, tiba-tiba muncul lagi orang lain yang lebih sukses.
Rasa iri atau motivasi timbul kembali. Kita ingin seperti orang yang lebih sukses itu. Berbagai cara dilakukan. Terkadang yang ilegal pun termasuk. Kita mengejar bahagia karena melihat kesuksesan orang lain.
Bahagia hanya perkara olah pikir dan rasa
Pada satu sisi, apakah orang yang biasa-biasa saja hidupnya tidak bisa tertawa lepas? Apakah orang yang sederhana dan rumahnya kumuh pertanda hanya ada kesusahan di sana?
Apakah orang yang tinggal di rumah mewah selalu bahagia? Pada kenyataan, ada ditemukan orang berada merasa kesepian tinggal sendiri di rumah mewah.
Sementara orang di desa sangat bahagia sekadar bercengkerama di gubuk reot berlandaskan tanah. Semua hanya tentang bagaimana cara kita berpikir, memaknai bahagia dan merasakannya.
Bahagia dengan berfilosofi