Seorang bayi menangis kencang. Seorang ibu menggendongnya dan menyanyikan sebuah lagu untuknya. Karena tidak kuat menahan berat badan bayi, ibu itu meletakkannya di atas kotak tidur.
Bayi itu membuka mata. Ia melihat beberapa lampu terpasang di atas kotak. Sang ibu menyalakannya. Ada warna merah, kuning, dan hijau.Â
Bayi itu tiba-tiba tersenyum. Tidak berapa lama, tertawa. Ia begitu senang melihat kerlap-kerlip lampu. Sang ibu lega, suara yang memekakkan telinga tidak terdengar lagi.
Pernahkah kita sadari sewaktu kecil, kita bisa bahagia dengan cara yang sangat sederhana? Tanpa butuh banyak alasan, kita jadi tersenyum lalu tertawa.
Jika sudah lupa, lihatlah bayi dan anak kecil di sekitar. Amatilah bagaimana cara mereka bahagia. Begitu mudah, bukan? Hanya melihat lampu dan mendengar lagu, mereka senang.
Lantas, mengapa hal itu sulit terulang saat beranjak remaja dan dewasa?
Standar bahagia orang bertambah
Semakin besar, anak kecil pasti belajar lewat berbagai jenjang pendidikan. Otaknya diisi wawasan dan pengetahuan. Ia mulai bergaul dengan teman di sekitar.
Saat remaja, ada rasa mulai tumbuh ketika melihat lawan jenis. Belum lagi mengikuti cerita teman tentang bahagianya. Ada teman yang berumur muda sudah punya rumah.
Ada lagi yang beroleh istri cantik atau suami ganteng. Ada yang gampang sekali mendapatkan uang. Mereka semua berbagi baik lewat obrolan pribadi maupun media sosial.