Seorang lelaki melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB. Sudah saatnya makan siang. Ia menutup laptop dan mengambil tas selempang, berisikan dompet dan ponsel.
Ia berjalan kaki tidak berapa jauh dari kediaman. Sampailah ia pada warung nasi langganan. Ia susah beranjak dari sana. Hatinya sudah menetap di sana. Berkali-kali ia telah mendatangi warung itu.
Sudahkah Anda makan siang hari ini? Sesibuk apa pun pekerjaan, jangan lupa makan ya! No logistik no logika. Begitu kata orang bijak yang saya tidak tahu namanya. Hehehe...
Saya sendiri habis makan siang. Di warung nasi langganan. Ada tiga bentuknya: warung Tegal, warung Padang, dan warung Brebes. Kali ini saya ke warung Tegal.
Warung nasi adalah warung yang gampang ditemui di sekitar kita. Keberadaan mereka menjamur dan sangat dekat dengan masyarakat, terutama para karyawan yang tidak sempat masak atau bawa bekal dari rumah.
Kepraktisan makan di sana merupakan nilai lebih. Saya punya warung nasi langganan yang selalu saya kunjungi. Anda mungkin juga iya. Kita setia jadi pelanggan. Tentu, dengan berikut alasan (bisa semua bisa salah satunya):
Rasa masakan cocok
Saya tidak bilang enak. Enak adalah masalah selera, kerap berbeda-beda tergantung masing-masing. Tetapi, hanya cocok di lidah yang berhasil membuat ketagihan.
Ketika sudah cocok dengan makanan hasil olahan sebuah warung nasi, saya tidak segan berulang kali mendatanginya. Bahkan, terasa ada yang kurang jika belum makan di sana. Gampang kangennya.
Makanan beragam
Di warung langganan, makanannya terhitung banyak ragam, baik lauk-pauk maupun sayur-mayur. Berbentuk gorengan, berkuah, tumisan, ada. Yang rasa manis, pahit, pedas, asin, juga ada.
Saya jadi tidak bosan saat memilih menu. Semuanya masing-masing dijaga kualitasnya oleh penjual. Tidak ada yang lebih enak atau kurang enak. Tampilan menarik dari setiap menu juga membangkitkan nafsu makan.
Tidak pelit memberi porsi
Untuk ukuran makanan seporsi sayur seharga dua ribu, penjual warung langganan tidak tanggung-tanggung dalam memberi porsi. Saya kira malah seharusnya dihargai lebih dari harga segitu.
Betapa baik penjualnya. Tidak pelit dan murah hati ketika mengatur porsi. Siapa pembeli yang tidak suka jika beroleh porsi banyak dan mengenyangkan?
Harga terjangkau
Kembali lagi seperti rasa, saya tidak bilang murah. Tetapi, terjangkau sesuai keadaan dompet masing-masing. Tentu, tidak lebih mahal daripada masak sendiri.
Tiap-tiap kita mampu menakarnya. Bila tidak menguras dompet dan porsinya tidak mengecewakan, pembeli yang bertahan sebagai pelanggan berpotensi semakin banyak.
Lokasi dalam dan luar bersih
Faktor kenyamanan selalu saya perhatikan setiap makan di warung nasi. Baik di luar -- halaman dan tempat parkir -- maupun dalam, wajib bersih.
Secara tidak langsung ini bisa memengaruhi nafsu makan saya. Jika kotor dan berdebu, saya berpikir dua kali untuk makan. Sekadar masuk saja enggan.
Penjual ramah
Ini salah satu bagian penting, terutama ketika hendak tambah. Penjual yang sigap dipanggil, enak diajak ngobrol, ramah saat melayani, sesekali berbicara sambil tersenyum, adalah nilai plus yang seyogianya dipertahankan agar warung ramai pembeli.
Pembeli adalah raja. Pembeli ingin dilayani baik. Apalagi ini masalah perut. Saya yakin, penjual yang ramah kebanyakan didatangi banyak pembeli.
Konsisten buka
Terkait jadwal penjualan, warung yang konsisten buka akan lebih kerap didatangi. Pembeli tahu, warung selalu sedia menjual makanan. Jika terjadwal, boleh dikunjungi pada jam sekian sampai sekian.
Pelanggan tidak mau, sudah jauh-jauh datang, tiba-tiba warungnya tutup. Apalagi tanpa alasan. Sebagian mungkin kecewa. Saya termasuk yang tidak suka.
Mendukung usaha kecil
Sempat kita dengar selama Covid galak kemarin-kemarin -- sekarang kembali galak -- sebagian warung nasi terancam bangkrut. Tidak dimungkiri, jika mereka sepi pembeli, sementara barang yang dijual tidak mampu bertahan lama, modal yang digunakan tidak seberapa, uang tidak bisa diputar untuk beli bahan, biaya sewa tempat terus berjalan, tentu membuat para penjual warung nasi sangat terpuruk keadaannya.
Sekarang mereka berusaha bangkit. Semua sebaiknya menopang dan mendukung. Kita sebagai masyarakat dapat turut andil dengan membeli makanan di tempat mereka.
Ya, inilah alasan saya lebih suka makan di warung nasi daripada di restoran atau mal. Saya juga orang kecil, jadi tahu bagaimana kondisi sesama orang kecil.
Penderitaan orang kecil
Saya ingin berbagi satu masalah yang kerap dialami sebagian penjual warung nasi. Sebagian mereka memungkinkan penjualan makanan dengan sistem kas bon. Niatnya untuk menolong dan meringankan beban sesama orang kecil.
Pembeli diperbolehkan mengambil rutin makanan tiga kali sehari sampai sebulan. Nanti, setelah tanggal gajian, utang dilunasi. Biasanya ini diterapkan borongan pada pekerja-pekerja yang kebetulan datang dari satu kampung dengan mereka. Di ibu kota, terjadi.Â
Sayangnya, para pekerja itu dengan tanpa berdosa menghilang begitu saja. Tagihan yang tertulis di buku kas bon lenyap. Menguap tanpa dibayar. Saya pernah mendapat curahan hati seorang penjual. Seketika saya tertegun.Â
Nasib orang kecil dikerjain oleh orang kecil. Betapa tidak bertanggung jawab mereka yang tidak membayar itu. Bila diakumulasi semua, bisa sampai jutaan kerugian yang diderita.
Saya memberi saran, ya sebaiknya tidak usah dilayani lagi utang makan seperti itu. Si penjual hanya tersenyum. Bagaimana ya, orang sama-sama dari kampung yang sama.
Akhir kata...
Kondisi sekarang, saya kira ada baiknya jika kita lebih banyak makan di warung nasi di sekitar. Kondisi mereka lebih terpuruk dan sekarang sedang berusaha bangkit.
Mari, kita pulihkan ekonomi orang kecil. Jika bukan masyarakat sendiri yang membantu, siapa lagi? Tidak kalah enak kok dengan masakan di tempat lain.
...
Jakarta
23 Juni 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H